MENGEJAR CAHAYA

Wini Afiati
Chapter #7

Dea dan Paul Jadian!

Semburat kemerahan memenuhi cakrawala, presentasi mata kuliah struktur dan konstruksi telah selesai. Dengan riang, satu persatu mahasiswa meninggalkan ruang studio. Termasuk aku dan Alvin. Thomas dan beberapa teman yang lain mengajak kami makan ke kantin. Alvin mengiakan dengan semangat. Sedangkan aku menggeleng. Aku harus cepat pulang. Tugas edit foto pesanan telah menanti.

 “Sorry nih, gue balik duluan, Guys!” Aku melambaikan tangan tanda pamit, meninggalkan mereka. Alvin terlihat kaget.

"Hey, Yo!" panggilnya. Tanpa menoleh, aku mengangkat tangan.  

Saat tiba di areal parkir motor. Kebetulan lokasinya tepat berada di belakang gedung kuliah. Seseorang terlihat berlari menujuku. Halah, si alis tebal, Alvin! Napasnya terengah-engah saat tiba. Ia menepuk bahuku.

"Ya elah, Rio, gaya beud langsung pulang. Kumpul dulu yuk bentaran!”

Ah, aku paling tahu modus teman satu indekos ini. Kalau aku ikut makan kan dia enak, pulangnya bisa nebeng motor.

“Gue ada DL, Vin, kudu setor foto besok.”

“Ya Allah, Yo. Refreshing dulu aja. Satu jam-an”

"Time is money, Bro!" jawabku sok 'nginggris'. Maklumlah aku warga ibukota di bagian selatan yang terkenal suka campur-campur kalau ngomong. Aku memakai helm. Alvin masih mencoba membujuk.

“Udah, gue cabut dulu, Vin. assalamualaikum!” ucapku memotong omongannya. Tanganku mulai menyalakan mesin motor. Alvin hanya bisa pasrah.

“Ya udah entar gue bawain batagor!” Ia melambaikan tangan dan mulai berjalan kembali ke kantin. Bergabung dengan teman-teman yang lain. 

Hufft. Kalau enggak ada deadline, aku pengin juga sesekali bergabung dengan teman-teman. Tapi, inilah perjuanganku. Tiap orang punya target masing-masing, begitu pula aku. 

Saat SMU, aku masuk KPF (Klub Pencinta Fotografi). Dari KPF, aku belajar bagaimana teknik memotret dan mengedit foto. Alhamdulillah keahlian memotret itu kini berguna sebagai sarana pengumpul pundi-pundi uang. Aku mau menunjukkan ke Ayah kalau putranya ini bisa mencari uang sendiri. Walau kuliah masih dibiayai Ayah, dan masih dikirimi uang rutin untuk biaya sehari-hari, tetapi uang yang kukumpulkan ini ditabung untuk masa depan.

Alhamdulillah, berbekal iklan di instagram, satu per satu pelanggan datang. Ada yang minta dibuatkan foto pre-wedding, ada yang memesan untuk foto produk jualan. Apalagi di Bandung ini banyak usaha kreatif jadilah orderan fotoku laris manis. Mungkin karena aku juga mematok harga yang terjangkau. Karena puas dengan hasil pemotretanku, para pelanggan tanpa diminta, rajin merekomendasikan jasaku kepada orang lain.

Sudah berjalan setahun, pesanan jasa fotografiku selalu mengalir, bahkan sampai aku batasi, karena aku pun mesti membagi waktu antara kuliah dengan pekerjaan sampingan ini. Jangan sampai tugas utama kuliah malah keteteran karena asyik terima orderan. 

Sebagai mahasiswa arsitektur, sebenarnya tugas kuliahku sudah banyak. Untuk tugas studio perancangan, benar-benar menguras pikiran, tenaga dan waktu. Untuk satu tugas, mulai dari survei, analisa, membuat konsep sampai eksekusi, yaitu membuat gambar dan maket. Akan tetapi, aku malah tertantang untuk menunjukkan kalau aku bisa menyelesaikan tugas kuliah plus orderan foto. Jadilah begadang menjadi sahabat setiaku. Hampir setiap hari, aku begadang.

Pukul sepuluh malam, aku masih sibuk mengedit foto, saat terdengar sebuah ketukan khas. Dua ketukan lalu berjeda, lanjut ketukan bertubi-tubi. Heh! Siapa lagi yang punya ketukan unik kayak gitu kalau bukan cowok sebelah kamar. Si Alvin.

"Assalamualaikum, Yo. Tukang batagor mo masuk, nih!"

Aku sudah hafal dengan gaya cowok satu ini. Padahal punya kamar sendiri, tetapi hobinya menginap di kamarku. Katanya sepi di kamarnya, enggak ada yang bisa diajak ngobrol. Alasan. Bilang aja mau numpang makan. Akan tetapi, Alvin itu lumayan anteng di kamarnya saat ada tugas gambar. Walau kalau sudah giliran bikin maket, bisa tiba-tiba pindah ke kamarku. 

"Yo, kalau bikin pohon sekalian buat gue,” ujarnya sambil nyengir.

Eh kamu tahu enggak sih, apa itu maket? Biar kamu familier ya, maket itu wujud fisik tiga dimensi sebuah desain, dalam skala kecil atau mini. Makanya bisa juga disebut miniatur. Fungsinya itu sebagai media visualisasi sebuah desain. Jadi wajib setiap dapat tugas desain, ada maketnya.

Karena maket itu model yang terskala, jadi setiap elemen yang kita buat pun mesti sesuai skala. Contoh, jika kita pakai skala 1:100 berarti tiap satu sentimeter dalam maket, mewakili seratus sentimeter atau satu meter dalam skala aslinya. Sudah mengerti, kan? Nah, bikin maket itu kan enggak cuma membuat bangunan saja. Misal saat mendesain rumah, juga butuh pohon, manusia atau mobil sebagai penguat skala kita. 

Ketukan pintu semakin keras terdengar, disertai suara cowok yang tak sabar menunggu.

"Yo, Yo. Lo kagak pingsan kan di dalem? Buka pintu napah! Woi, woi! Assalamualaikum."

Saat kubuka pintu, Alvin menerobos masuk.

"Eits dah Yo, lo lama banget sih. Bisa jamuran gue di depan!" ucap cowok beralis tebal ini. Tanpa permisi, ia menuju rak kecil tempat meletakkan alat makan. Diambilnya sebuah piring dan sendok, lalu meletakkan bungkusan batagor di atas piring.

"Nih makan batagornya. Paling keasyikan ngedit, lo lupa makan." 

Alvin menyerahkan piring berisi bungkusan batagor padaku. Mata hitam itu berbinar ceria. Biar suka 'nyebelin', tetapi Alvin ini termasuk tipe teman yang perhatian. Kadang gaya ceria dan easy going-nya mengingatkanku pada Paul. 

Alvin lalu duduk di ranjang. Tangannya meraih laptopku. Jemarinya kemudian sibuk menggeser cursor, melihat-lihat foto yang telah kuedit.

"Dapet order iklan apa lagi lo, Yo? Eh, cakep juga ini kaus. Kayaknya cocok buat gue. Ya enggak?"

Aku tak menjawab ocehan Alvin. Malah sibuk membuka plastik batagor dan menuangnya ke piring. Kulirik isi batagor. Ada satu butir telur ayam, beberapa potong somay tahu, satu potong pare utuh dan beberapa potong batagor. Alvin memang sudah hafal kebiasaanku jika memesan batagor. 

Lihat selengkapnya