MENGEJAR CAHAYA

Wini Afiati
Chapter #8

ALVIN JATUH CINTA?

Sejak Paul terang-terangan menunjukkan hubungan dengan adikku. Aku perhatikan dia semakin jarang datang ke Bandung. Aku pun melihat perubahan yang kentara pada Dea. Instagram-nya penuh dengan foto-foto bersama Paul. Di setiap foto, Dea terlihat semringah. Senyum cerah selalu terhias di wajahnya.  

Ah, dulu aku ingin masuk KPF dan menantang diriku untuk bisa mengambil foto Dea yang tersenyum. Sejak Mama tiada, Dea jadi pendiam dan menutup diri. Wajah cantik itu lebih banyak muram daripada tersenyum. 

Sering aku dan Paul bertaruh, siapa yang bisa bikin Dea tersenyum. Kami iseng memotret Dea diam-diam, yang sedang asyik membaca buku di ruang keluarga. Hasilnya malah bikin adikku makin uring-uringan. Paul malah senang melihat Dea marah-marah. 

"Adikmu itu lucu ya, kalau cemberut dan jutek, gitu!" ujarnya, dulu aku tak ambil pusing dengan komentar Paul. Lama-lama baru kusadari kalau jangan-jangan bibit naksir Paul itu berawal dari keisengan kami itu. Haduh!

Kini, saat kubuka instagram, baik di akun Paul ataupun akun Dea, bertaburan senyum Dea. Bahkan ia pun bisa tertawa lepas bersama Paul. Ternyata bukan aku yang berhasil membuat Dea tersenyum kembali, tetapi Paul. Ada rasa cemburu di hatiku. Aku kan kakaknya Dea. Maka aku putuskan pekan ini akan pulang ke rumah. Mumpung tugas kuliah belum terlalu menggila dan aku sedang libur menerima orderan foto. Lelah euiy begadang terus setiap hari. 

Memang konsekuensi kuliah di arsitektur plus punya kerja sampingan itu waktuku selalu penuh.

Makanya video call tuh sering kupakai buat komunikasi sama keluarga di rumah. Apalagi adik bungsuku, Rain itu anaknya cepat kangen. Jadi tak usah heran kalau dia suka banget v-call masnya ini. Pernah tuh lagi hectic banget gambar. Jadwal presentasi jam sepuluh, tapi kuliah umum jam delapan. Jadi tugas gambarku mesti kelar sebelum jam tujuh. Eh Rain v-call. Duh duh, malah kalau nelpon durasinya lama lagi. Mau kucuekin, tapi kasihan, bisa seharian ngambek. Yang repot nanti Bunda dan Risa. Kok Risa? Yup, Risa. Rain tuh deket banget sama Risa.

"Mas ... Mas Iyo. Ini Rain," ujar bocah usia tiga tahun ini. Si pipi gembil menunjukkan sebuah mobil biru tobot yang patah tangannya.

"Oh, hai Rain. Kenapa?" Duh, gimana cara beritahu dia kalau masnya ini lagi repot. 

"Mobil Rain rusak, hu hu. Mas Yo, sini?" Eh, cuma mau mengadu mobil tobotnya rusak, dia hubungi aku. Ya ampun.

"Oke. Tapi, Mas sekolah dulu, ya. Dadah." 

Sekilas aku melihat Risa yang duduk di samping Rain, membujuknya.

"Ayo Rain, dadah sama Mas Rio. Nanti kita sambung lagi," bujuknya. Risa ini mirip sekali Bunda, dari mulai wajah hingga gaya keibuannya. Memang benar ya, like mother, like daughter. Buah jatuh tak jauh dari pohonnya.

"Dadah Rain," ujarku.

"Dadah, Mas Yo." Bocah pipi tembem itu melambaikan tangan. Risa tersenyum di belakangnya. Aku mengucap salam dan menutup ponsel. Ada yang berdesir di dada. Efek senyum yang memesona. Aku mengembuskan napas, membuang jauh-jauh rasa di dada. Astaghfirullah, Rio!

Aku bergegas menyelesaikan tugas gambar sambil melirik jam dinding. Kuliah di arsitektur ini berat, karena tugasnya banyak. Apalagi kuliah studio itu durasinya panjang, dari pukul sepuluh pagi hingga pukul empat sore. Dalam seminggu ada empat kali mata kuliah ini. 

Di kuliah tahun kedua ini tugasku sudah mulai merancang rumah tinggal. Mulai dari desain pergola, pagar, rumah tinggal satu lantai, dua lantai, bikin asrama sederhana. Di penghujung tahun, tugas terakhir merancang rumah tinggal dengan lahan dan klien nyata. Kalau kliennya suka, desain kita bisa dipakai alias dibangun, loh. Walau tanpa bayaran, rasanya senang banget jika karya kita dipakai. 

Oh ya, di studio itu ada yang namanya asistensi. Mahasiswa dibagi menjadi beberapa kelompok kecil dan setiap kelompok punya satu dosen pembimbing. Nah, ke dosen itulah kita berkonsultasi atau asistensi. 

Belum lagi di tingkat dua ini, kami mulai belajar struktur dan konstruksi bangunan. Seperti membuat pondasi, kolom, balok, serta kuda-kuda. Walaupun arsitek tak perlu berhitung secara detail (biar itu pekerjaan anak teknik sipil), tetapi tetap harus mengerti perhitungan dasarnya. Belum lagi masih ada kuliah teori-teori perarsitekan dan mata kuliah umum. 

Kulirik jarum jam yang menunjukkan pukul setengah delapan. Terdengar ketukan kas di balik pintu. Ketuk dua kali, lalu berjeda dan berlanjut lagi dengan ketukan bertubi-tubi. Siapa lagi kalau bukan ulah Alvin. Kupakai jaket, menggulung kertas dan memasukkan ke dalam tabung.

"Iya, iya, bentar, Vin. Aku otewe." Kuteguk air mineral dan berangkat.

***

Pukul tiga, Pak Ibrahim menutup sesi kuliah, Alvin yang duduk di belakang memberi kode untukku bergegas, "Yo, let's go!" Dia sudah mencangklong tabung dan memakai tas ranselnya.

Lihat selengkapnya