Alvin meloncat turun dari motor dan bergegas membuka gerbang. Aku melajukan motor ke area parkir indekos. Rumah indekos kami berbentuk kamar-kamar yang dibangun membentuk blok berbanjar, terpisah dari rumah induk tempat penjaga indekos dan keluarganya tinggal.
Kulihat Alvin melepas helm, dan tergesa menaruhnya di lemari. Di kos kami, ada lemari penyimpanan helm yang terletak di depan ruang serbaguna, dekat tempat parkir. Dengan cuek, ia berjalan meninggalkanku menuju kamarnya. Walau kamarku dan kamar Alvin terletak bersebelahan, tetapi posisi kamar kami berada di pojok kiri, cukup jauh dari ruang serbaguna.
"Eh, eh, Vin tunggu! Lo janji mo cerita!" panggilku sambil buru-buru melepas helm. Cowok beralis tebal itu melambaikan tangannya dengan ekspresi jail.
“Gue duluan, Yo!” jawabnya masih dengan seringai menyebalkan, khas Alvin. Tubuhnya dengan cepat menghilang di belokan.
Aku tak mau ketinggalan, segera mengejar Alvin. Tepat saat aku tiba di depan kamarnya, Alvin sudah berhasil masuk kamar dan menutup rapat pintu. Terdengar kunci yang diputar. Sial.
"Vin, tahunya bagi!" teriakku.
"Sorry, Rio! Tahunya buat gue semua, makanya beli sendiri. Ha ha ha." Suaranya tawa terdengar sangat menyebalkan. Awas aja dia!
"Dasar pelit!" gerutuku. Aku pun masuk ke kamar. Istirahat sebentar, lalu mandi dan bersiap-siap ke masjid untuk ikut salat magrib berjemaah.
Sepuluh menit sebelum azan magrib berkumandang, aku selesai mandi. Saat menyisir rambut, terdengar ketukan pintu dengan nada khas. Siapa lagi kalau bukan si Alvin. Kubuka pintu dan tanpa bersalah, dia masuk ke kamarku.
"Wuih, udah ganteng aja anak saleh. Ikut dong.” ucapnya sambil menyengir. Aku melirik temanku itu dengan mata menyipit. Alvin kelihatan hanya ganti kaus tapi belum mandi.
Refleks kusabet kepalanya dengan sajadah kecil. "Kalau mau salat jemaah tuh mandi, biar bersih.” Cowok berwajah Arab itu hanya tertawa kecil.
“Ntar aja ah, males.”
“Dasar lo mah, Vin!”
Aku mulai memakai sarung. Alvin duduk di kursi belajar dengan tangan asyik memencet ponsel.
“Vin! Besok gue mau pulang. And, sorry ya. Kali ini lo nggak gue bawain pampis."
Aku tahu, Alvin suka banget pampis buatan Bunda. Seperti yang kuduga, cowok itu menatapku dengan pandangan melas.
"Ya elah Yo. Lo dendam amat, tibang tahu bulet doang. Ya udah besok gue beliin, bonus cilok.”
“Kagak usah.”
“Eits dah, tega lo mah.”
Aku melirik jail pada cowok beralis tebal ini. “Kasih tahu gue dulu, siapa cewek yang lo taksir! Ntar gue bawain pampis.”
Dahi Alvin berkerut. “Yo, lo kayak cewek. Kepo urusan orang!”
Aku mengangkat bahu. Cuek. Biar sekalian aku kerjain Alvin.
“Gue kan dapet tugas dari Kang Ahmad jagain lo biar istiqomah di jalan yang lurus. Jadi gue perlu tahu siapa cewek yang lo taksir. Biar bisa gue awasin.”
Alvin memandangku heran. “Hah? Sejak kapan Kang Ahmad kasih tugas itu ke elo? Ngada-ngada.” Ia mengernyitkan dahi, tak percaya.
“Ya serah deh. Pampis, pampis,” ucapku menggoda.
Kulihat Alvin menelan ludah. Kemudian ia menghela napas panjang. Dikeluarkannya ponsel dari saku celana, dan mulai mencari-cari sesuatu di galeri foto.
"Demi pampis. Nih, “ ujarnya dengan terpaksa sambil menyerahkan ponsel.
Dengan tersenyum penuh kemenangan, aku langsung mengamati wajah yang terpampang di layar. Seorang gadis berwajah oriental. Cantik.
“Oh yang kayak gini tipikal cewek lo, Vin!” godaku yang membuat Alvin memerah wajahnya. Ia merebut ponsel di tanganku. Bergegas menutup galeri dan memasukkan ponsel ke saku celana dengan tergesa.
“Anin itu istimewa buat gue,” ucapnya dengan ekspresi serius. Sungguh jauh berbeda dengan gaya Alvin yang biasanya cengengesan. Aku jadi ikut diam. Hingga kemudian, aku menjawil bahu Alvin.
"Eh gue enggak kenal cewek lo. Bukan anak Ganesha, ya?"
Alvin mengangguk. Matanya terlihat menerawang.
“Anin itu sahabat gue saat SMU dan sekarang lagi kuliah di Malaysia....”