MENGEJAR CAHAYA

Wini Afiati
Chapter #10

PULANG

"Bagaimana kita tahu seseorang itu sungguh menyayangi kita? Bukan dengan mendengar apa yang dia ucapkan apalagi yang dituliskan. Melainkan dari apa yang dia lakukan untuk kita. Dan itu teruji dalam jangka panjang, bertahun-tahun, tidak bosan dan tidak berkurang."

(Tere Liye)

Ada yang bilang, mandi dengan pancuran air hangat akan menghilangkan kecemasan. Saat pancuran air itu jatuh mengenai tubuhmu, akan terasa sensasi seperti dipijat. Efeknya antara lain mampu menghilangkan rasa lelah dan menimbulkan efek relaksasi. 

Maka kuputar keran shower, mengatur suhu hingga suam-suam kuku dan membiarkan pancuran air membasahi kepalaku. Biarlah tetesan air ini mengalir ke seluruh tubuhku, yang membantu mendinginkan hatiku.

Tahukah kamu bagaimana rasanya memendam rindu? Hanya dengan menatapnya sekilas, hanya dengan mendengar suaranya, tetapi akibatnya dadamu terasa begitu panas. Meletup-letup.

Katanya, cinta tak pernah salah. Kau bisa jatuh cinta pada siapa pun, begitu saja datang tanpa alasan, tanpa memikirkan risiko apa pun yang mungkin terjadi. 

Namun, kenyataannya tentu tidak semudah itu. Kita tak kan bisa pura-pura tidak tahu akan risiko yang akan terjadi.

Mengapa kemudian ada istilah 'cinta terlarang'? Karena ia tumbuh pada sosok dan waktu yang salah.

Ah, ternyata cinta itu rumit, bukan? Aku teringat kisah Ali dan Fatimah. Sebuah kisah romansa yang suka kubaca berulang-ulang. 

Mereka yang jatuh cinta dalam diam. 

Mereka yang menyimpan rahasia erat-erat, bahkan hingga setan pun tidak tahu.

Mereka berdua bersabar sambil terus memperbaiki diri, hingga akhirnya Allah menakdirkan mereka membangun mahligai rumah tangga bersama. Indahnya.

Siapa yang tak ingin seperti itu. Namun, bisakah aku? Kuatkan hatiku, ya Rabb. Bersabarlah, Rio. Simpanlah rasa, sebelum kehalalan itu tiba.

Aku telah selesai mandi, alhamdulillah badanku terasa segar. Namun, perutku menjerit-jerit minta diisi, tadi dalam perjalanan aku hanya makan roti sobek untuk mengganjal perut.

Dari kejauhan kulihat Bunda dengan dibantu Risa sedang merapikan meja makan. 

Bunda tersenyum saat melihatku berjalan mendekati mereka. "Rio makan ya ditemani Risa. Kepala Bunda agak pusing, jadi nggak bisa menemani," ujar Bunda dengan suara yang lembut, aku mengangguk.

"Iya Bunda, istirahat saja. Terima kasih ya Bun sudah siapin makanan buat Rio." Bunda menepuk bahuku dan berjalan meninggalkan kami menuju kamarnya.

Kini hanya tinggal aku berdua Risa. Deg! Adikku itu sudah duduk di meja makan.

"Mas Rio, ayo sini, makan dulu." Dia menyodorkan sebuah piring kepadaku. "Mumpung Mas Rio lagi di rumah, ada yang mau Risa tanyain," ucapnya ceria. 

"Hm, iya." Aku memilih duduk di samping Risa. Bisa gawat jika duduk berhadap-hadapan dengannya. Aku takut tak tahan jika harus menatap wajahnya terus menerus.

Aku mencoba bertingkah senormal mungkin. Sambil mengusir balon-balon di dada yang rasanya mau meletus.

Apaan sih, Yo. Risanya aja biasa-biasa saja, tuh! Buat Risa, kamu itu cuma seorang kakak. Nggak lebih. Wake up!

Aku mengambil secentong nasi munjung dan mengambil dua potong bakwan dan sesendok teri balado. Risa menuangkan sayur asem ke sebuah mangkok.

"Ini Mas Rio, silakan makan." Gayanya sudah mirip Bunda yang biasa melayani anggota keluarga saat makan bersama.

"Risa nggak ikut makan?" Risa menggeleng. 

"Kan Risa tadi sudah makan bareng-bareng Ayah, Bunda, Dea dan Rain. Ntar Risa gendut kalau makan terus, Mas," tuturnya sambil tertawa renyah. Dia menopang dagu dengan sebelah tangannya, mengamatiku makan.

Lihat selengkapnya