MENGEJAR CAHAYA

Wini Afiati
Chapter #11

FIRASAT

Kesibukan di kampus benar-benar menyita waktu. Saking sibuknya, aku sempat lupa berkirim kabar dengan Dea. Lupa mengawasinya. Bulan demi bulan berlalu tanpa terasa. Hidupku diisi begadang dari hari ke hari. Bahkan aku sempat berhenti menerima orderan foto ketika tugas kuliah menggila.

Alvin yang biasanya berwajah riang jika sudah mulai mendekati deadline pengumpulan tugas perancangan arsitektur, wajahnya mulai terlihat kusut. Apalagi aku. Eh nggak usah dibayangin. Kusut beda dengan ganteng. Kita berdua sih tetap mengaku sebagai cowok ganteng yang lagi kusut.

Hingga, entah kenapa, tiba-tiba aku ingin sekali pulang. "Vin, kayaknya gue besok mo pulang dulu, nanti gue pinjem catatan lo ya?" ujarku usai asistensi mata kuliah struktur dan konstruksi. Kami sedang jalan beriringan menuju lahan parkir tempat motorku berada. Alvin menatapku kaget, dia mengerutkan dahi dan memicingkan matanya.

"Hah? Pulang? Yo, lo kesambet apa? Senin deadline Stupa, lo emang udah kelar gambar detail? Lo juga belum bikin maket, Yo!" protesnya tanpa jeda, udah kayak emak-emak. Ia mengambil helm yang disangkutkan di motor dan memakainya.

"Besok kan nggak ada studio. Gue bolos aja.” Aku juga memakai helm dan mulai menyalakan motor. Alvin duduk di boncengan. 

“Kenapa dadakan, Yo?” cecar Alvin. Rupanya dia masih heran dengan keputusanku pulang.

“Nggak tahu nih, ada firasat nggak enak. Pokoknya gue mau pulang," terangku. Entah aku juga bingung, seperti ada dorongan kuat yang menyuruhku pulang. Sebuah firasat. Semoga bukan hal buruk. 

Alvin mengangkat bahunya, "Ya terserah lo, lah. Ntar gue pinjem aja catatannya Amira. Ya kali gue rajin nyatet, Yo. Kesambet apaan." Aku terkekeh mendengarnya. 

"Ya sapa tau kan, tiba-tiba sobat gue jadi rajin. Apalagi kan mo disogok pampis, hehe." Mata Alvin berbinar-binar.

"Eh, eh yang bener? Ya udah ntar gue fotocopiin. Lo tinggal terima beres. Alvin gitu, loh, " ujarnya dengan logat Betawi kental. Walau kuliah di daerah berbahasa Sunda, logat Betawi Alvin nggak berubah. Katanya sih, dia itu seperti minyak, bercampur tapi tidak menyatu. Halah, emang paling bisa ngeles si Alvin ini.

"Eh sebentar ya Vin, gue hubungi Dea dulu." Aku memencet nomor ponsel Dea. Terdengar jawaban.

"Iya, Mas Rio. Kenapa?" tanya adikku, dari suaranya kurasa Dea masih berada di sekolah. Karena terdengar jelas suara berisik murid-murid pulang sekolah.

"Mas besok mau pulang, Dea mau dibawain apa, oleh-oleh dari Mas?" tanyaku. Aku menunggu beberapa menit hingga adikku memberi jawaban.

"Manisan pala, mangga dan pepaya ya, Mas. Asinan buah juga boleh," ujar Dea ceria. Eh? Apa aku nggak salah dengar, aku merasa aneh dengan pesanan adikku ini.

"Hah? Sejak kapan Dea suka makan manisan pala dan pepaya?" tanyaku bingung. 

"Ya nggak apa-apa kan beda dari kemarin-kemarin. Lagian kenapa nanya kalau udah niat bawainnya brownies lagi, brownies lagi. PHP doang!" sungut Dea, dasar jutek belum juga berubah. Jadi terbayang Paul, dia sabar juga ya dijutekin adikku ini. Aku pun tertawa.

"Iya iya, nanti dibeliin, Tuan Putri. Kalau Risa sama Rain maunya apa? Tanyain dong!" desakku. 

"Aku masih di sekolah, nanti Dea tanyain. Btw Mas uangnya lagi banyak ya, kok selalu beli oleh-oleh dan teleponnya lama, sih?" ujarnya penuh selidik. Lagi-lagi aku tertawa. Kepo amat adikku ini. Apa dia nggak sadar kalau masnya ini punya banyak uang tabungan, hasil kerja sambilan motret, kan. Alvin di sebelahku mulai terlihat tidak sabar.

"Sudah ya, Dea. Assalamualaikum," ujarku. Tak terasa sudah lama juga aku tak pulang ke rumah. Saat terakhir pulang, aku mengingatkan Dea agar tidak memakai kaus ketat ketika pergi keluar rumah, terutama jika ia pergi bersama Paul. Namun, aku tak yakin nasihatku digubris Dea. Adikku kini saat berseragam putih abu-abu tidak sepatuh saat masih berseragam putih biru. 

 "Vin, anterin gue dulu ya ke Pasar Kosambi? Gue mo beli oleh-oleh buat orang di rumah," pintaku yang dibalas anggukan cowok beralis mata tebal ini.

Lihat selengkapnya