Sehabis pulang jemaah salat isya di masjid, aku masuk ke kamar. Aku tidur berdua Rain. Kulihat adikku itu sedang berbaring sambil memeluk guling. Ia menatapku semringah.
“Mas Iyo, bacain Rain, Franklin dong,” pintanya sedikit merajuk.
“Ok, Bos. Mau baca yang mana?”
“Terserah Mas Iyo aja,” jawab si pipi tembem dengan ekspresi wajah lucu.
Aku mengambil satu buku Franklin si kura-kura dari lemari buku. Rain memang punya kebiasaan dibacakan buku cerita sebelum tidur. Biasanya Bunda atau Risa yang melakukannya. Tapi, kalau aku lagi di rumah, Rain selalu minta aku yang membacakan cerita pengantar tidur.
Sekitar pukul delapan, Rain sudah terlelap di ranjangnya. Bunda mengetuk kamar.
“Yo, ada yang mau Bunda bicarakan.”
Bunda memintaku bergabung di kamar Dea. Saat aku masuk ke kamar adikku itu, kulihat Risa telah duduk di samping Dea. Sedangkan Dea memainkan ujung piyama. Matanya merah.
“Emang ada apa, Bun? Kok kumpul gini?" tanyaku, heran.
“Duduk dulu, Yo. Bunda akan jelaskan pelan-pelan.”
Wajah Bunda begitu serius. Aku merasa ada yang tidak beres. Bunda seperti menahan emosi yang berat. Suaranya bergetar saat bicara. Akan tetapi, aku mengikuti permintaan Bunda. Aku memilih duduk di kursi belajar Dea.
Perlahan Bunda mulai bercerita. Tentang kondisi keluarga hingga Dea sakit. Aku terus menyimak dalam diam.
“Keadaan Dea saat ini butuh dukungan kita semua.”
Bunda menarik napas berat. Aku masih mencoba mencerna apa yang hendak Bunda sampaikan. Bunda melanjutkan bicara, hingga sebuah kalimat membuatku tersentak.
"Dea saat ini bukan sakit biasa." Ah, tidak! Firasat buruk. Aku teringat Mama yang berjuang melawan kanker. Apakah Dea juga seperti Mama?
"Memang sakit apa, Bun?"
Bunda terdiam. Lalu ia menjawab dengan suara pelan.
"Dea hamil.”
“Apa?”
Bagai petir di tengah bolong aku yang sedang duduk di kursi belajar Dea, spontan berdiri. Dadaku panas. Ada murka di dalamnya. Mataku tajam menatap Dea.
“Apa yang kau lakukan, Dea?” tanyaku dengan emosi memuncak.
Bunda ikut berdiri dan menahan tubuhku agar tidak mendekati Dea.
"Rio, sabar, Nak ..."
Dari sudut mataku, kuperhatikan Risa yang duduk di samping Dea juga terlihat shock. Ia menutup mulut dengan tangannya. Terdengar gumaman keluar dari mulutnya.
"Ya Allah ... ya Allah. Astaghfirulloh.” Ia menggeleng, seakan tak percaya dengan apa yang didengar. Di sebelah Risa, Dea menangis.
Aku mengusap rambut. Berusaha meredakan emosi yang memuncak.
Kau tahu bagaimana rasanya hatiku? Hancur. Mukaku memerah menahan gejolak amarah. Ingin rasanya membanting pintu atau menendang meja belajar di dekatku. Sesosok wajah terpampang jelas dalam pikiranku, Paul. Aku menahan geram, dan mengepalkan tanganku.