Pagi ini, saat sarapan bersama, kami menjalani dengan suasana yang berbeda. Lebih hening. Dea terlihat tidak tertarik untuk makan. Dia hanya mengaduk-aduk cream soup buatan Bunda.
“Ayo Dea, dimakan sedikit sedikit.” Bunda terus membujuknya. Akan tetapi, Dea menggeleng lemah.
“Aku mual, Bun. Nggak selera.”
Rain yang duduk di samping Bunda menatap heran tingkah kakaknya.
"Kak Dea sakit, ya? Kok makannya kayak gitu?" tanya Rain polos. Dea memandang adik kecilnya tak suka.
Risa yang sangat dekat dengan Rain, langsung menengahi. "Iya, Rain. Kak Dea lagi kurang sehat. Rain makan yang banyak ya. Sini Kak Risa suapi." Rain mengangguk senang.
Ah Risa. Melihat tingkahmu yang lembut itu membuatku sulit menahan diri. Aku menunduk, fokus pada cream soup. Berusaha membuang jauh-jauh debar di dada.
Usai sarapan, aku ke kamar. Kenangan masa lalu tiba-tiba berkelebat. Jauh sebelum Ayah dan Bunda menikah, aku dan Risa sudah lebih dahulu mengenal. Kami satu ekskul saat SMP. Aku yang melatih Risa saat baris berbaris di Paskibraka dulu. Sejak pertemuan-pertemuan di ekskul paskibraka, aku jadi sering memperhatikan Risa. Ia tidak seperti anak-anak perempuan lainnya yang suka mencari-cari perhatianku. Mereka bilang aku kakak kelas yang ganteng dan cool.
Setelah kami menjadi adik kakak, itu adalah fase terberat untukku. Aku berusaha menepis rasa suka dengan berusaha menjadi kakak yang baik.
Risa yang berbeda karakter dan gaya dengan Dea. Risa lebih feminin, ceria juga lembut. Saat Rain lahir, ia terlihat bahagia sekali. Begitu semangat membantu Bunda merawat adik bayi. Berbeda 180 derajat dengan Dea yang selalu saja mengurung diri di kamar. Dea yang selalu bertampang jutek jika seluruh keluarga sedang berkumpul.
Risa terlihat sangat sayang dengan Rain. Aku teringat ketika Rain berusia satu tahun, Bunda saat itu ada acara penting dan terpaksa pergi meninggalkan Rain di rumah. Risa yang masih berusia empat belas tahun, terlihat santai menjaga Rain.
"Risa sayang banget ya sama Rain?" Aku menghampiri Risa yang sedang memangku Rain di sofa ruang keluarga. Risa tersenyum lebar.
"Ih Mas Rio aneh pertanyaannya. Ya iyalah sayang, adik sendiri kok nggak sayang," ujarnya riang. Aku tertawa. Aku juga sayang Rain, tapi malas kalau diminta menjaganya.
Masa-masa terberat adalah saat Risa duduk di bangku SMU. Kecantikan Risa semakin terlihat. Dia terlihat semakin anggun dengan jilbabnya. Sebenarnya bukan hanya Risa, Dea juga berubah banyak. Aku baru sadar jika kedua adikku, Risa dan Dea tumbuh menjadi gadis-gadis yang cantik ketika banyak teman-temanku yang menitipkan salam.
“Yo, salam buat Risa, ya,” ucap seorang teman, yang diikuti yang lain.
“Buat Dea juga!” ujar Paul.
“Hus! Hus! Apaan sih kalean!”
Kuperhatikan Risa juga terlihat menjaga jarak dengan teman-teman cowoknya. Dia hanya bergaul akrab dengan teman-teman perempuan. Dan sejak itu pula, aku mulai mengurangi waktu bersama Risa. Aku tak tahan jika berada di dekatnya. Aku menyibukkan diri di KPF. Saat kelas dua belas, aku sibuk belajar untuk menghadapi ujian kelulusan dan tes masuk universitas.
Aku memilih kampus yang berlokasi di luar kota jauh dari rumah. Ya, selain agar bisa belajar mandiri, aku pun ingin menjaga jarak dengan Risa. Hei, apa kata dunia jika tahu seorang kakak naksir adiknya sendiri? Mungkin saat kuliah, aku akan bertemu wanita lain yang akan menggantikan posisi Risa di hati.
***
Aku tak pernah menyangka bahwa dorongan hatiku untuk pulang ternyata karena Dea. Sebuah firasat kuat. Ternyata, adikku hamil di usia yang baru tujuh belas tahun. Astaghfirullah, sungguh menyedihkan.
Semua materi pengajian yang telah disampaikan Kang Ahmad seakan bertalu-talu di pikiranku. Aku merasa gagal sebagai seorang kakak. Saat aku belajar Islam lebih dalam, adikku malah terjerumus perbuatan yang dilaknat-Nya.
Dadaku terasa sesak. Kutanya hatiku apa yang sedang terkumpul di sana. Ada rasa marah, kesal, kecewa dan sedih. Ya Rabb, Dea, adikku satu-satunya. Ya, ya, ada Risa dan Rain, adik-adikku juga. Namun, Dea berbeda, dia adik kandungku langsung dari Mama dan Ayah. Sedangkan, Rain dan Risa adalah adik-adik tiriku.
Rain terlahir dari pernikahan Ayah dan Bunda. Ia adik seayah denganku dan Dea.
Beda dengan Risa, yang sebenarnya tidak memiliki hubungan darah. Akan tetapi dia menjadi adikku karena pernikahan kedua orang tua kami. Walaupun begitu kami bukan mahram. Aku bisa menikahi Risa. Itu sebabnya Risa tidak boleh menampakkan auratnya di depanku.
Sejak mulai belajar Islam sejak kuliah, jika bersalaman dengan Risa, kami melakukan dengan gaya orang Sunda, yakni menangkupkan telapak tangan dan memajukan ke depan tanpa harus bersentuhan.
Ah Dea, jika teringat janjiku pada Mama untuk menjagamu. Hatiku rasanya sakit sekali. Aku kecewa dan marah pada diriku sendiri yang gagal menepati janji.
Aku bisa saja beralasan Dea sudah besar. Sudah seharusnya bisa menjaga diri sendiri. Tapi ke mana aku saat Dea kesepian? Ah, aku terlalu sibuk dengan urusanku hingga kurang memperhatikan Dea, hingga ia terjerumus dalam masalah pelik ini.
Astaghfirullah, kakak macam apa aku ini!
Kupencet nomor ponsel Paul. Sial, aku benar-benar tak menyangka sahabatku tega melakukan ini. Tidakkah dia berpikir jika melakukan sebelum menikah, seperti inilah jadinya. Bencana!
"Hai Rio? Halo, Bro!" Terdengar suara Paul yang ceria. Sial! Bagaimana bisa dia tak terdengar cemas atau takut bicara denganku, kakaknya Dea. Nada suaranya yang santai membuat darahku semakin bergolak, panas.
"Apa yang lo lakuin ke adik gue, Paul?" teriakku murka tanpa basa-basi.
"Hei, sabar, Bro. Sabar. Kita perlu bertemu untuk bahas ini. Ok?" Kalau Paul ada di depanku, sudah kupukul wajah putih bersihnya itu.
"Gue mau kita ketemu sekarang!" ujarku bersikeras. Napasku memburu.
"Gue masih di kampus, Yo. Ada kuliah. Pukul lima sih udah kelar. Ketemuan di mana kita? Bikun Coffee, gimana?" Paul membujukku.
"Ok. Gue tunggu jam lima teng!" ujarku tegas.
"Sip!"