"Segala persoalan dalam hidup ini sesungguhnya tidak untuk menguji kekuatan dirimu, tetapi menguji seberapa besar kesungguhanmu dalam meminta pertolongan Allah." (Ibnul Qayyim)
Rabu malam, aku mulai merapikan baju-baju ke dalam ransel, bersiap-siap kembali ke Bandung. Setelah dibacakan cerita, Rain sudah tertidur pulas. Pintu kamar kubiarkan terbuka. Saking sibuk merapikan ransel, tak kusadari ada Bunda yang berdiri di depan pintu kamar.
"Pulangnya nggak besok pagi saja, Rio, kok mesti malam-malam, gini?" tanyanya lembut.
Aku tersenyum, "Iya Bun, malam ini aja pulangnya. Soalnya besok ada asistensi studio Strukon. Hari ini Rio sudah bolos asistensi studio PA. Nanti kebanyakan bolosnya, repot ngejarnya, Bun," jawabku sambil menarik resleting ransel dan menepuk-nepuknya agar lebih kempis. Bunda berjalan menghampiriku. Kini ia berdiri di sampingku.
"Lagian Rio udah dapat data yang dicari, jadi mau lanjut kerjain tugasnya di kosan. Dikit lagi deadline, Bun, mesti buru-buru diselesaiin nih."
Bunda mengangguk dan menepuk bahuku. Wajahnya begitu teduh. "Rio, terima kasih ya atas pengertian kamu. Bunda bangga memiliki anak laki-laki seperti Rio," ucapnya sambil tersenyum. Begitu lebar senyum Bunda hingga terlihat barisan gigi putih di mulutnya.
Aku tertawa kecil. "Ish Bunda, apaan sih pake terima kasih segala. Nggak ada yang aneh yang Rio lakuin, Bun."
"Buat Bunda, sikap Rio saat mengetahui Dea hamil itu cukup bijaksana. Kau bisa menahan diri. Mengingat kamu yang suka temperamen, Bunda pikir Paul akan habis kamu gebukin."
Aku mengusap helaian rambut. "Sebenarnya waktu bertemu Paul, aku mau mukulin dia sampe babak belur, Bun. Marah banget aku sama dia. Tapi saat menatap dia, sorot matanya itu begitu pasrah, aku nggak tega, Bun."
Mataku menatap lantai kamar. "Aku kenal Paul itu seperti apa. Dea itu wanita pertama yang bikin dia jatuh cinta, jadi nggak mungkin juga dia pengin bikin Dea menderita. Kurasa dia hanya khilaf, tak bisa menahan diri."
Kulihat Rain yang sudah tidur di ranjangnya, terbangun dan membuka matanya, Bunda mendekati dan mengelus-ngelus kepala putra bungsunya. Rain pun tertidur pulas kembali. Aku melanjutkan kata-kataku. "Paul memang sudah lama punya masalah sama papanya. Dia takut papanya. Jadi, tadi aku hanya menggertak dan memberinya waktu. Aku percaya padanya, Bun. Paul pasti akan menepati janjinya."
Bunda memandang ke depan, "Bunda pikir kita semua memang butuh waktu. Pelan-pelan kita atasi masalah ini, satu per satu," ujarnya pelan.
"Bun, maaf ya Rio nggak bisa dampingin Bunda saat Ayah pulang. Semoga nggak terjadi hal yang gimana-gimana," tuturku khawatir. Aku teringat Ayah itu jika marah besar bisa sangat menyeramkan.
Kulihat Bunda menunduk. "Rio, Bunda pun sejujurnya takut dengan reaksi ayahmu," ungkapnya dengan suara perlahan.
"Ayah nggak mungkin nggak marah, Bun. Hanya saja, Bunda bisa membuatnya tidak terlalu murka," saranku, Bunda menoleh dan menatapku lekat-lekat.
"Maksudmu?"
"Hm, gimana ya, mungkin Bunda bisa baik-baikin Ayah dulu. Bikin hati Ayah merasa senang, baru minta Dea melakukan pengakuan. Karena, cepat atau lambat pasti akan ketahuan juga jika Dea hamil," tuturku.
"Iya, Yo, ayahmu cepat atau lambat pasti akan tahu. Berarti Bunda harus cari cara agar bisa mengurangi kemarahan Ayah. Terima kasih idenya, ya, Yo," ungkapnya.
“Sama-sama, Bunda.”
"Kita sekeluarga mesti solid dalam menghadapi masalah ini. Semoga ayahmu sebijak dirimu, Yo." Bunda menatapku dengan mata berbinar, "Rio, Bunda lega bisa ngobrol sama kamu."
Aku mengangguk, dan mulai memakai ransel. Malam ini aku harus balik ke Bandung. Kucium tangan Bunda, mengelus kepala Rain dan bergegas pamit kepada kedua adikku. Saat menuju kamar Dea, ada Risa di depan pintu kamarnya. Dia seperti menantiku.
"Risa, Mas balik ke kos dulu, ya." Mata indah itu membulat dan mengangguk.
"Hati-hati ya, Mas," ujarnya pendek. Aku tersenyum dan meninggalkannya menuju kamar Dea, kuketuk kamarnya.