MENGEJAR CAHAYA

Wini Afiati
Chapter #15

EPISODE BARU

Semburat matahari pagi menyelisik celah krei. Membentuk garis di lantai keramik kamar ini. Aku membuka daun jendela lebar-lebar, merasakan embusan angin menyentuh ujung kulitku. Segar. Satu dua lampu jalan masih menyala, di jalanan yang lengang. Pagi yang cerah. Semoga ini menjadi penanda awal kebahagiaan untuk adikku, Dea. 

Aku melangkah keluar kamar. Di ruang keluarga, Ayah masih merapikan jas hitam yang dikenakannya. Rain yang melihatku, tersenyum lebar. Dari mulutnya yang terbuka, terlihat deretan gigi kecil-kecil bak gigi kelinci. Ekspresi wajah Rain lucu menggemaskan 

“Mas Iyo ganteeng!” ucapnya polos sambil memberi dua jempolnya. “Baju kita sama.” Bocah berusia empat tahun itu menunjukkan jas hitam yang dipakainya. Ya, tentu saja kami memakai jas seragam. Pipi tembam bak donat itu kucubit kecil. Gemas. 

Dari kamar Dea, keluar adikku yang digandeng Bunda dan Risa. Bunda dan Risa terlihat anggun dengan balutan gaun berwarna putih, senada dengan Dea.

“Mas Rio ....” 

Aku mengangguk. Betapa cantik Dea. Ia memakai gaun pengantin berwarna putih dengan siluet ballgown dan potongan lengan panjang bertabur bordiran bunga-bunga kecil. Tubuhnya belum terlihat sedang hamil. 

Ayah berusaha tampil tenang. Akan tetapi, wajahnya tetap tak bisa menyembunyikan raut kecemasan. Bunda mengelus punggung Ayah, seakan berkata, semua akan berjalan baik-baik saja. Rain mulai gelisah. Ia mulai bergerak dan berlarian. 

“Rain, duduk dulu. Habiskan susu cokelatnya. Ayo,” ucap Risa lembut. Rain hanya tertawa, sedikit menggoda kakaknya. Walau akhirnya ia duduk manis dan menghabiskan susu cokelst yang disodorkan Risa. Kuhampiri mereka. 

"Rain, nanti duduk dekat Mas Rio, ya."

Bocah berpipi tembam itu mengangguk. Usai menghabiskan susu, ia berdiri. Mata hitam seperti biji leci itu terlihat sibuk mencari-cari sesuatu. 

“Kamu cari apa, Rain?”

"Mas Iyo, lihat tobotku, nggak?" Aku membantu mencarikan dan menemukan mainan itu tergeletak di bawah sofa. Rain berseru gembira.

"Makasih, Mas. Mas Iyo, terbaik!" ucapnya dengan nada suara tokoh kartun Boboboy. Ia mengacungkan jempolnya. 

Ayah meminta kami untuk segera berangkat. Toyota Avanza yang aku kemudikan melaju tenang menuju Masjid An-Nur.

Setiba di masjid, kami langsung disambut Tante Lana yang menggandeng Dea menuju ruang rias. Risa mengikuti di belakang. Begitu pula aku, Bunda serta Rain. Sedangkan Ayah menemui keluarga kami dan tenggelam dalam percakapan. 

"Rio tolong jaga Rain, ya. Bunda mau menemani Dea.” Aku mengangguk setuju. Rain masih anteng dengan robot di tangannya. 

"Hei jagoan, jalan-jalan yuk." Rain menatapku semringah. Mata itu berbinar riang. Tanpa aba-aba, ia melompat ke arahku.

Allahu akbar, Rain!” seruku, kaget. Untung refleks, aku berhasil menangkap tubuhnya.

"Gendong, Mas," ujarnya kolokan. Dasar, pipi tembam!

"Sini, naik ke sini!" kataku menyuruhnya naik ke punggung. Bocah itu tertawa. Aku menggemblok Rain dan melanjutkan berjalan.

Aku menatap masjid yang akan menjadi tempat Dea dan Paul melangsungkan akad nikah dan resepsi sederhana. Masjid yang juga menjadi tempat mengikat janji Ayah dan Bunda. 

Masjid Raya An-Nur ini dikenal dengan julukan masjid biru ini terletak di pinggir jalan raya. Lokasinya berdekatan dengan sebuah mal terkenal di Ibukota. Ia terkenal dengan sebutan masjid biru, dikarenakan warna biru mendominasi eksterior dan interior masjid. Yang paling terlihat dari luar adalah atapnya yang berwarna biru.

Masjid Raya An-Nur merupakan salah satu masjid di ibukota yang tak pernah sepi dikunjungi ribuan jamaah. Terdiri dari dua lantai. Lantai atas digunakan untuk ruang salat utama, sedangkan lantai bawah digunakan untuk ruang serba guna. Secara keseluruhan masjid dapat menampung 2.600 jemaah.

Ruang atas, yakni ruang salat utama memiliki dinding kiblat, tanpa ruang mihrab. Bentuk ini merujuk pada Masjid Quba yang dibangun oleh Rasulullah SAW. Pada dinding mimbar dipahat kaligrafi dua kalimah syahadat. Di ruang itulah rencananya Paul dan Dea akan melangsungkan akad nikah.

Dari jauh aku melihat rombongan mempelai pria datang. Aku berjalan mendekati rombongan, ikut dalam barisan keluargaku yang sedang bersalaman. 

"Hei, Yo!" ujar Paul ramah. Wajah putih bersih itu terlihat semringah. 

Aku meninju pelan bahu sobatku ini. "Jadi juga lo jadi adik ipar gue," celutukku.

Paul tertawa hingga terlihat deretan gigi putihnya. Ia terlihat gagah. Kuperhatikan mulai dari jas, kemeja, rompi, dasi hingga celana dan sepatunya semua berwarna senada. Ia meletakkan saputangan di saku jasnya yang berwarna goldpar, untuk memberi aksen pemanis.

"Yoi, dong!" Paul mengedipkan matanya. Sahabatku itu terlihat santai. Tetap riang seperti biasa. 

Rombongan pengantin laki-laki lalu dipandu untuk segera menaiki tangga menuju ruang akad. Aku juga ikut ke atas. Ruang sudah ditata terpisah antara tamu laki-laki dan perempuan.

Sebagai kakak mempelai perempuan, tentu saja aku duduk di barisan paling depan, di samping Eyang. Rain lalu merengek minta dipangku, bocah ini suka ada-ada saja. 

"Mas, kita ngapain sih di sini?" ujar si mata bulat ini bingung.

"Kak Dea kan mau menikah." Mata itu semakin membulat lucu.

“Menikah?” tanyanya bingung. Adikku kemudian menengok ke arah tamu-tamu dan menatap heran.

"Mana Bunda, Mas?"

Lihat selengkapnya