MENGEJAR CAHAYA

Wini Afiati
Chapter #16

KEDATANGAN RISA

"People will let you down, but Allah never will.”



Malam datang menjelang. Gumpalan awan hitam bergerak menutup purnama. Hanya sepersekian detik saja, titik-titik air menderas membasahi bumi. Aku meregangkan tubuh yang terasa kaku. Sudah dua minggu tidak ikutan renang bareng Alvin, akibat sibuk menyelesaikan orderan foto juga tugas kuliah yang makin menggila. 

Aku melirik jam di ponsel. Baru pukul delapan, tapi suasana kos sudah begini sepi. Ya, beberapa teman memilih pulang ke rumah saat akhir pekan. Mungkin juga karena hujan. Udara dingin begini paling asyik meringkuk di kamar masing-masing. Saat yang tepat untuk menarik selimut dan masuk ke alam mimpi. 

Tapi tidak denganku. Layar monitor di depanku masih menyala, menampilkan aplikasi lighting room. Aku masih sibuk mengolah foto hasil pemotretan tadi siang. Huft! Ternyata hasil jepretanku hasilnya kurang catchy. Makanya, aku perlu mengakali dengan mengatur tingkat kecerahan serta kekontrasan foto yang sesuai. Saat sedang konsentrasi mengutak-atik editan foto, telingaku mendengar ketukan pintu dengan gaya khas Alvin. 

“Yo, assalamu’alaikum!” seru cowok itu. Mau tidak mau aku beranjak dari tempat duduk dan membukakan pintu. Seperti biasa, Alvin langsung menerobos masuk dan mengempaskan tubuhnya ke ranjang. “Gue bobo di sini ya, Yo.” 

Aku sudah hafal gaya sahabatku itu. 

“Hm ... Ok!” jawabku tanpa menoleh. Pasti cowok itu kelaparan. Modusnya dimulai dengan minta izin menginap. Padahal sih nanti dia numpang makan. Lihat deh, dalam hitungan tiga, tangannya akan mengambil stoples di meja. 

Satu... Dua... Aku mulai berhitung di dalam hati. Yup! Belum sampai hitungan tiga, Alvin meraih stoples berisi keripik kentang yang berada di samping laptop. Cowok itu kini duduk di samping ranjang sambil asyik mengemil keripik.

“Yo, besok Risa mulai kos, ya?”

Aku yang duduk di meja belajar menatap sekilas ke Alvin dan mengangguk. Cowok itu kini terkekeh. Seringai jail menghias wajahnya. 

"Ehm, ehm. Akhirnya adik kesayangan mulai ngekos. Makin sering ketemu, dong! Ciyeee..!” ujarnya sambil diikuti ledakan tawa. 

Aku memberi isyarat dengan telunjuk di mulut. Memintanya diam. Suasana kos lagi sepi. “Psst, suara lo, Vin!”

Tapi cowok berwajah Arab itu tidak mengecilkan suaranya. Muka putihnya jadi berubah merah, saking terlalu semangat tertawa. Aku melotot. Susah memang kalau berurusan sama anak bungsu. Suka susah dibilangin baik-baik. 

"Vin, lo nggak ada kerjaan? Gua lagi ngedit foto nih. Besok, keluarga gue mo dateng, nggak bakalan gue sempet ngerjain editan." Alvin bukannya sadar, malah semakin ngakak.

"Ha ha ha, bisaan aja ngelesnya, lo, Yo." Dia malah melempar bantal ke kepalaku. Jelas mataku makin melotot. Kuambil bantal dan menyerang balik. Dengan gesit, bantal itu ditangkis Alvin. Maklumlah, dia mantan anak karate. 

“Segitu doang serangan lo, Yo?” ujar Alvin songong. 

"Vin, lo awas ya macem-macem. Inget, jangan sekali-kali di depan Risa, elo jail atau keceplosan ngomong tentang perasaan gue! Becanda juga nggak boleh!" ancamku galak. Alvin masih cengengesan. Ia bangkit dari ranjang dan meregangkan badannya. Curiga aku, pasti isi stoples udah kosong.

"Tenang, Yo. Gue nggak bakal bocor. Tapi, sebagai sahabat, gue saranin mending lo cari cewek lain. Kayak kagak ada wanita di dunia ini aja, Yo. Ha ha ha." Alvin tertawa keras, sedangkan aku mendengus, sebal.

Alvin berjalan menuju meja tempat aku menaruh makanan. Kali ini dia mengambil sekotak biskuit. “Yo, gue buka, ya? Masih laper.” Tuh bener kan, aku bilang kalau dia laper.

“Ambil, Vin.” 

Cowok itu tersenyum dan mulai memakan satu potong biskuit. Ia kembali duduk di ranjang. “Lo tadi dengerin nasihat gue kan, Yo?”

Aku hanya menoleh sekilas dan mengangkat bahu.

‘”Hm. Terus kenapa? Lo juga sama. Naksir ama sahabat sendiri. Kejebak friendzone, lo!” balasku yang membuat Alvin manyun.

"Ish, gue mah beda. Nggak complicated kayak lo, Yo. Orang naksir sahabat mah nggak aneh. Banyak kejadian. Ya elo, kakak naksir adiknya, apa kata dunia? Ini masih aman, belum level ketahuan nyokap bokap lo, kalau mereka tahu, gimana hayo reaksinya? Hayo!" ujar Alvin ngeselin, tetapi kata-katanya benar juga. Aku menelan ludah. Bagian ketahuan Ayah dan Bunda itu selalu bikin aku mengkeret.

"Ah, biarin. Nanti aja mikirnya. Sekarang elo out dari kamar. Udah kenyang man? Gue butuh konsentrasi!" tuturku sambil mata terus memandang laptop. 

"Aelah, ngusir gue. Nyesel, lo." Dengan cuek, Alvin pun berdiri. “Biskuitnya gue bawa.”

“Hm, ambil, Vin. Apa sih yang nggak boleh buat lo.”

Alvin menyengir lebar. “Bukan salah gue kalau dicintai banyak orang, Yo.”

Aku menepuk dahi. “Halah, Vin.” 

Cowok beralis tebal itu terkekeh.

“Moga besok gue dibawain pampis lagi, hi hi,” ucapnya riang. Alvin membuka pintu dan pergi menuju ke kamarnya.

Lihat selengkapnya