Alvin ternyata menepati janjinya. Walau terkadang isengnya suka kumat, tetapi rahasiaku masih bisa tertutup rapat. Aku bersyukur sampai dengan saat ini, Risa belum tahu perasaanku. Jika bertemu Risa, aku mencoba bersikap biasa layaknya seorang kakak kepada adiknya. Toh sudah bertahun-tahun aku berhasil menahan diri. Menjaga rahasia.
Pernah suatu sore ketika Risa datang ke indekosku sendirian, di saat aku dan Alvin sedang kuliah. Wah habis dia dikerjai Kang Abdul dan Kang Ilham, senior-seniorku di FTSL yang kebetulan satu kos denganku. Sejak itu Risa kapok datang ke kosku.
"Mas Rio ..." Risa berlari mendekatiku yang sedang parkir motor, namanya juga baru pulang kuliah. Seperti biasa aku boncengan bareng Alvin. Kang Abdul menghampiriku. Risa berlindung di belakangku dan Alvin.
"Punten, Yo. Adikmu tadi cuma ditanya-tanya aja. Eh, dia ketakutan, Yo," ujar Kang Abdul merasa tak enak. Aku hanya diam. Mau marah, dia seniorku.
"Ayo, Ris."
Aku mengajak Risa ke luar kos. Alvin mengikuti di belakang.
"Risa, kalau mau ke sini bilang-bilang. Ini kan sarang penyamun, kos cowok, loh," ujar Alvin menasihati dengan nada suara yang lembut. Risa menunduk.
"Iya, Kak, maaf, tadi Risa mau kirim pesan dulu ke Mas Rio eh ponselnya mati." Wajahnya terlihat pias dan hampir menangis. Aku jadi kasihan.
"Sudah nggak apa-apa. Untung masih di kos. Orangnya juga cuma jahil, bukan beneran berniat jahat. Ya udah kita makan dulu, yuk. Risa udah makan?" ujarku berusaha menenangkan hatinya. Ini dia salah satu kelemahan Risa. Dia terlalu polos. Suka nggak berpikir panjang saat melakukan sesuatu.
"Belum, Mas, tadi langsung dari kampus. Mau ketemu Mas Rio ada yang mau ditanyain sebenarnya," ujarnya pelan.
"Mau makan apa, Ris?" tanyaku. Kami bertiga berdiri di depan indekos.
"Terserah Mas Rio aja, deh."
Alvin yang berada di sebelah kami berdeham, dia pura-pura batuk. Terpaksa kan, aku menengok ke arahnya. Alvin menatap jail. Aku melotot. Ini cowok bisa nggak sih lebih pinteran kalau kasih kode?
"Iye, lo mau makan apa, Vin?" ujarku pada sosok nyebelin ini. Cowok beralis tebal itu tertawa keras.
"Alhamdulillah, ya Allah. Akhirnya gue dianggap ada. Gue pikir bakal jadi nyamuk selamanya. Ha ha ha," katanya tertawa. Refleks, kujitak kepalanya.
"Ya udah cepet, lo mo makan apa?"
Wajah Arab itu menatapku jail. "Ditraktir?"
Ya ampun, aku mengibaskan tangan. "Iya, iya, cepet."
Alvin kembali terkekeh. "Gue cuma bercanda. Ntar gue bayar sendiri."
Eh, tumben?
"Kalau Risa. Pilih, mau makan mie atau nasi?" tanya Alvin dengan gayanya yang sopan.
Risa terlihat berpikir. "Hm, terserah aja, deh. Risa ikut aja."
"Ya udah, kita ke Dapur Eyang atau Bebek Ngarasan? Deket dari sini sekitar 500 meter. Kita naik angkot, apa jalan?" tanya Alvin lagi.
"Naik angkot, aja, kasihan Risa," tukasku, tegas.
Risa memandang wajahku dan Alvin. "Risa ikut aja, ke Dapur Eyang boleh, ke Bebek Ngarasan boleh."
"Ya udah, kita makan bebek aja, ya," jawabku yang langsung menyetop angkot. Aku tahu Risa suka makan bebek goreng. Risa naik duluan ke dalam angkot. Selanjutnya aku. Lalu Alvin.
"Memangnya Risa mau nanya apa sih sampai datang ke indekos Mas Rio? Bukannya pulang dulu ke kos kamu," tanyaku penasaran. Risa melirik Alvin, yang dilirik pura-pura melihat jalan.
"Risa ada tugas, mau minta bantuan Mas Rio."
"Oh, ya udah. Selesai makan Mas aja yang ke kos kamu, ya?" Risa mengangguk.
"Trus gue gimana? Ikut ke kos Risa atau pulang, Yo?" ujar si Alvin dengan wajah yang sumpah nyebelin banget.
"Terserah, Vin. Lo mau ke ujung kulon juga nggak apa-apa!" jawabku ngasal.
"Tapi gue orangnya baek. Kasihan lo, Yo. Kalau berduaan aja ama Risa, nanti ketiganya setan. Ya udah mending gue temenin aja elo, Yo," ucapnya dengan ekspresi usil tak terkira.
"Ya, elah Vin, di ruang tamu doang gue duduknya. Banyak orang wara-wiri." Indekos Risa sama denganku. Tamu lawan jenis nggak boleh masuk ke kamar. Jadi jika bertamu itu duduk di ruang khusus tamu.
***
Siang itu, sebuah notifikasi mampir ke ponsel. Aku sedang presentasi kelompok kecil, mata kuliah Studio Perancangan Arsitektur. Sebuah nama tertera, Bunda. Eh? Ada apa? Penasaran kubuka pesannya.
"Rio, segera pulang, Nak. Dea melahirkan!" Begitu pesan singkat yang dikirim Bunda. Ya Allah, perasaan belum waktu Dea melahirkan. Dengan tergesa, aku izin keluar ruangan dan menghubungi Risa.
Risa mengangkat teleponku. Rupanya ia juga sudah mendapat kabar dari Bunda.
"Risa, Mas masih nunggu giliran presentasi studio PA Mas kelar. Kamu bisa kan pesanin tiket online. Ada uangnya, nggak?" tanyaku.
"Iya, Mas, aku juga ini nunggu kelar kuliahnya. Dah kepalang masuk kelas. Nanti aku pesanin tiket, uang ada kok."
"Ok, nanti Mas ganti ya uangnya. Assalamualaikum." Terdengar balasan salam dari Risa dan kumatikan ponsel. Aku masuk ke ruangan, melanjutkan mendengarkan presentasi temanku dengan hati cemas. Ya Allah, semoga Dea baik-baik saja. Seingatku usia kehamilan Dea belum masuk sembilan bulan. Pasti ada sesuatu yang terjadi.
Pukul dua, datang pesan dari Risa. "Mas, tiket sudah dapet, tapi dapatnya jadwal pukul 14.45-18.03 wib."
"Iya, nggak apa-apa. Mas otw pulang. Kamu di mana? Mau Mas jemput?" ujarku sambil jalan menuju tempat parkir.
"Boleh, Mas. Risa masih di kampus. Kutunggu, ya." Sambungan telepon diputus setelah kujawab salamnya.
Aku sudah sampai di lapangan parkir motor. Ketika sesosok cowok berwajah Arab terlihat mengejarku, Alvin. Tadi kami beda kelompok presentasi. Saking paniknya, aku lupa pamit padanya.
"Hei, Yo. Mau ke mana? Belum kelar kuliah. Nanti ada Kompedium Arsitektur, kan?" teriak Alvin. Aku menoleh padanya, sambil memakai helm.