"Be happy, not because everything is good, but because you can see the good in everything.
“Mas, jarak Bandung dan Jakarta kan nggak terlalu jauh. Kok Mas Rio jarang pulang?”
Aku menoleh ke arah sumber suara yang berasal dari samping. Risa sedang menatap dengan mata bulatnya yang penasaran. Kami sedang dalam perjalanan kereta menuju Bandung. Kondisi Dea dan bayi Tristan semakin membaik. Kami memutuskan untuk kembali ke Bandung.
Aku tertawa kecil. “Ris, pertanyaan itu kan udah ribuan kali ditanya.”
Risa menutup mulutnya, wajahnya terlihat lucu ketika tertawa. “Ah iya ya. Padahal udah sering nanya, tapi tetap Risa masih nggak yakin dengan jawaban Mas Rio.”
Aku mengernyit. “Nggak yakin? Emang Mas Rio suka bohong?”
Risa menggeleng. “Bukan. Bukan gitu. Tapi .... Risa ngerasa kalau Mas Rio memang sengaja nggak mau pulang. Bukan karena nggak bisa.”
"Ooh."
Aku terdiam. Memilih tidak membantah kata-kata Risa. Adikku itu juga tidak melanjutkan bertanya. Untuk menghilangkan kecanggungan, kuambil kamera dan mulai mengambil posisi.
Setiap menggunakan kereta api, aku selalu memilih duduk di dekat jendela. Dalam perjalanan, aku suka memanfaatkan waktu dengan memotret objek pemandangan di luar kereta.
“Bagaimana cara Mas Rio ngambil objeknya tanpa goyang?” Lagi-lagi Risa bertanya. Aku tersenyum. “Lagian di luar juga gelap. Apa yang mau dijepret?”
“Ya, adalah Ris yang dipotret. Itulah tantangannya, bagaimana menjepret objek dalam keadaan bergerak. Memang susah-susah gampang, Tapi, ada triknya.”
“Oh gitu. Apa triknya?”
Aku menunjukkan lensa kamera. “Nih. Biar nggak goyang, gunakan lensa normal atau pakai tele dengan focal lenght lebih dari 50mm. Terus gunakan mode speed priority. ISO-nya juga harus tinggi. Pakai continues speed. Nggak apa-apa boros karena ini momen yang nggak berulang. Dan yang terpenting itu, sabar saat mencari momen dan obyek yang pas.”
Risa mengerjapkan mata dan memperbaiki kerudungnya. “Ooh...,” jawabnya singkat. Tapi dari ekspresi wajahnya, aku tahu dia kurang paham dengan penjelasanku.
Aku melanjutkan membidik. Mencari objek di luar jendela.
“Mas.”
Lagi-lagi Risa memanggilku. Tanpa menoleh, aku menjawab panggilannya.
"Hm."
"Mas Rio, apa kepingin kayak Kak Paul, nikah muda?" Tentu saja pertanyaan ini membuatku menoleh. Aku mengernyitkan kening.
"Eh, kok Risa nanya gitu?” Risa mengangkat bahunya dan tersenyum semanis gula. Huft! Aku lemah tiap melihat senyumnya.