Aku mengucap istighfar saat menyadari lintasan pikiran yang tidak-tidak antara Alvin dan Risa. Aku tahu Alvin tidak akan mengkhianati kepercayaan yang kuberikan. Dan Risa juga muslimah yang baik. Dia pasti bisa menjaga dirinya. Tapi besok-besok nggak akan kuizinkan Risa pulang malam begini. Aku mulai menyesal kenapa tadi mengizinkan Risa pulang. Huft. Menyesal tak ada gunanya. Sudahlah aku harus fokus ke kerjaan.
Sebuah notifikasi hadir di ponselku.
[Yo, jangan khawatir, Risa baik-baik aja. Nanti dari stasiun Gambir, gue anterin sampe rumah. Searah ini rumah kita.]
[Ok. Thanks!]
[Dah fokus kerjain editan foto. Gue nggak bakal macem-macem. Allah maha melihat, Yo. Tsah.] Alvin mengirim emoticon malaikat. Dasar!
Masalahnya bukan di Alvinnya. Dia sih terang-terangan suka sama Anin. Tapi, bagaimana kalau diam-diam Risa yang naksir Alvin. Karena jujur kuakui, sahabatku itu punya banyak kelebihan sebagai laki-laki.
Ah, tapi bagaimana sih aku ini. Payah banget. Sering ceramahin Alvin untuk menjaga hati tapi kelakuan diri sama aja. Seharusnya aku bisa berhenti memikirkan Risa. Tetap fokus ke kuliah dan orderan foto. Ayo Rio, kamu pasti bisa! Banyak wanita di dunia ini. Kenapa juga bikin susah berharap pada adik sendiri. Wake up!
***
Saat kunjungan ke Bandung, Bunda membawa oleh-oleh pampis untuk Alvin. Tentu saja cowok beralis tebal itu kegirangan. Lalu sempat-sempatnya Bunda mengajakku bicara. Berdua saja tentunya.
“Rio. Tuh kan berarti benar dugaan Bunda. Alvin ada hati sama Risa. Coba bayangin dia sampe bela-belain anter Risa ke rumah. Katanya khawatir kalau Risa pulang sendirian. Bahaya untuk anak gadis. Ya Allah, Yo. Baik banget.”
“Bun, emang Alvin anaknya begitu. Sama siapa aja juga baik. Nggak usah geer juga.”
Bunda menggeleng. “Iya. Tapi ini beda, Yo. Ya sudahlah biar bunda doain aja biar Risa nanti jodohnya Alvin.”
“Eh, jangan, Bun.” Ups. Keceplosan. Bunda menatapku heran.
“Loh kenapa nggak boleh?”
Aku menggaruk kepala yang sebenarnya nggak gatal. “Hm. Kan Rio udah bilang Alvin itu punya wanita pilihannya sendiri.” Tentu saja aku ngeri. Bagaimana kalau doa Bunda terkabul? Bisa patah hati aku ini. “Lebih baik Bunda doakan agar Risa mendapat jodoh yang baik untuknya. Sesuai kacamata Allah. Bukan kacamata kita, Bun, yang bisa saja salah.”
Bunda seperti tertegun mendengar ucapanku itu. Ia menatapku lamat-lamat.
“Kamu benar, Yo. Astaghfirullah. Terima kasih udah ngingetin Bunda.”
Aku tersenyum. “Masama, Bun.” Oh Tuhan, aku sungguh nggak sebijak itu. Hatiku masih saja galau. Masih nggak rela jika Risa berjodoh dengan orang lain.
Jadi cowok tuh jangan plin plan, Rio! Suara hatiku yang lain menegurku. Runyam memang perkara hati ini. Nggak semudah membalik telapak tangan.
***
Hari ini, sepertinya ada yang istimewa buat Alvin. Sejak berangkat kuliah, cowok itu terlihat begitu riang. Sepanjang perjalanan menuju kampus, ia terus bersenandung. Wajahnya begitu semringah. Dan aku baru tahu jawabannya setiba di kampus.
Saat melewati aula timur, aku melihat keramaian yang tak biasa. Ada acara Exchange Fair. Yaitu ajang pengenalan program pertukaran pelajar antar negara. Diperuntukkan bagi mahasiswa yang masih kuliah ataupun baru saja lulus.
Pada acara tersebut, ada beberapa returnee (mahasiswa yang baru saja kembali dari pertukaran) yang berkesempatan membagi pengalaman mereka. Juga ada mahasiswa dari negara lain yang akan ikut belajar di kampus kami ini.
Durasi student exchange pun tergantung dari program yang dipilih, tetapi biasanya satu semester (enam bulan) hingga satu tahun dan ada juga short course selama 1 minggu sampai 1 bulan. Acara yang cukup menarik. Karena aku berencana untuk melanjutkan kuliah di luar negeri.
Setiba di ruang studio, dan meletakkan barang-barang di meja. Alvin menunjukkan ponselnya.
“Yo, Anin ternyata udah sampe di sini.”
Aku bingung. "Hah. Siapa?" Alvin menepuk kepalaku pelan.
“Beberapa hari lalu kan Pak Johan bilang akan ada beberapa mahasiswa exchange yang ikut kuliah kita selama satu semester. Lo lupa?”
“Ooh. Terus?”
“Tu di papan pengumuman juga ada list nama mahasiswa-mahasiswinya. Lo nggak lihat?”
Aku menggeleng. “Ya, males lihat-lihat.”