Genap empat tahun kami kuliah, alhamdulillah aku dan Alvin bisa lulus S1 dan diwisuda berbarengan. Kami sudah bergelar sarjana Arsitektur sekarang. Akan tetapi, jalan karirku masih panjang. Aku masih ingin menambah ilmu dari pengalaman langsung dengan bekerja. Aku juga mau melanjutkan kuliah S2. Namun sebelum kuliah lagi, aku memutuskan untuk magang dahulu di sebuah biro arsitek di Bandung.
Mengapa aku pilih magang dulu? karena banyak hal yang belum kudapatkan di bangku kuliah, bisa diperoleh dari pengalaman magang.
Arsitektur adalah ilmu dengan learning by doing. Sebanyak apa pengalamanmu itulah yang menjadikan parameter keahlianmu nantinya. Untuk karir di bidang arsitektur, memerlukan paduan kemampuan otak, kreativitas dan dedikasi.
Di pertemuan terakhir kami dengan Kang Ahmad, ia mengingatkan aku dan Alvin tentang tujuan jangka panjang setelah lulus kuliah S1. Apakah mau berpraktik profesional, punya bisnis di arsitektur atau lebih menyukai riset seperti bekerja di universitas atau mungkin ingin bekerja di luar jalur arsitektur.
Beberapa teman kami memilih untuk melanjutkan pendidikan S2, mengambil gelar master. Alvin memilih langsung bekerja. Ia ingin berkarir profesional di bidang arsitektur. Kebetulan ia pernah magang di biro arsitek Rian Atmaja. Dan setelah lulus, ia langsung diterima bekerja di sana. Rian Atmaja adalah papanya Anin.
"Cie, kerja sama calon papa mertua," godaku pada cowok keturunan Betawi Arab ini. Alvin cuek saja. Ia malah tertawa renyah.
"Ha ha ha, biarin, biar makin akrab," ujarnya dengan senyum terkembang. Setelah empat tahun berteman dengannya. Aku tahu Alvin tipikal cowok setia. Dia ingin cepat bekerja agar bisa segera melamar Anin. Betapa mulusnya kisah cinta sahabatku itu. “Lo jangan iri, Yo. Kalau gue mau segera melamar Anin.”
Sial, cowok itu seakan membaca lintasan pikiranku. Aku melempar bantal ke arahnya. Perang bantal dimulai.
Aku teringat percakapan beberapa waktu sebelumnya. Saat Alvin galau. Jangan dikira hanya perempuan yang galau, laki-laki juga bisa. Walaupun jarang laki-laki yang cerita masalah pribadi begini. Tapi kalau tipe kayak Alvin kan beda.
"Yo, Anin bilang kalau mamanya mulai jodoh-jodohin dia dengan anak temannya. Gue kayaknya harus mulai melangkah maju. Gimana menurut lo?” Cowok beralis tebal itu menatap ke depan.
"Lo tahu Vin, Anin itu perempuan. Nggak mungkin dia cerita tentang perjodohan mamanya ke elo, kalau bukan dia berharap lo segera melamar dia. Itu kode, Vin. Lo seharusnya peka," tuturku serius. Alvin mengusap rambut cepaknya.
Alvin telah memangkas rambut gondrongnya. Mengikuti permintaan Anin. Wajahnya telah tercukur bersih. Berhubung papanya Anin itu orang yang rapi, Anin ingin Alvin memberi kesan yang baik di mata papanya.
"Dan lo tahu Vin, Anin ingin dukungan papanya. Dia ingin elo dekat dengan papanya," ujarku. “Itu sebabnya alasan sebenarnya Anin memberitahu ada lowongan kerja untukmu di biro arsitektur papanya.”
Alvin menghela napas. "Yo, sebenarnya aku merasa beban juga dengan tawaran ini. Pasti orang-orang berpikir gue bisa kerja di Biro arsitek Rian Atmaja karena Anin. Di mana harga diri gue, Yo? Gue pengin buktiin kalau dengan kemampuan gue sendiri, gue juga bisa bekerja di tempat lain," keluhnya.
Aku menepuk bahunya. "Sabar, Vin. Kesempatan ada di depan mata. Biarkan kucing mengeong, Alvin tetap melaju," ujarku menghibur. "Kalau lo mau cepet ngelamar Anin, lo harus udah kerja. Dan untuk fresh graduate kayak kita itu jangan lo pikir mudah. Lo seharusnya berpikir realistis aja, Vin.”
Alvin terdiam. Hilang sudah gaya petakilan dan cengengesan yang biasa dia tampilkan. Wajahnya begitu serius.
“Hm. Ya. Gue tahu, Yo. Ah, tapi ....”
Aku menepuk bahunya, menguatkan. “Anin pernah ngobrol sama gue." Alvin menoleh dan dahinya berkerut.
"Eh, kapan kalian chatting berduaan?" serunya, matanya menyipit. "Ngomongin apa?" Alvin ini ya, sama temannya aja cemburu, gimana sama yang lain. Aku tertawa kecil.
"Ish, Vin. Dengerin dulu. Kita chatting ngobrolin elo. Jangan cemburu!”
“Kan lo sendiri bilang jangan chatting sama lawan jenis.”
Aku menjitak kepala sahabatku itu.