MENGEJAR CAHAYA

Wini Afiati
Chapter #21

SEBUAH RASA

Aula kampus, Grha Sanusi Hardjadinata.

Waktu dua tahun bergulir cepat. Hari ini Risa diwisuda. Ia berhasil menyelesaikan pendidikan akuntansinya.

Keluarga Arya Sudirja datang dari Jakarta dengan personil lengkap. Ayah, Bunda, Rain, Dea, Paul dan si lucu Tristan semua ikut menghadiri wisuda Risa. Walau yang boleh masuk ke dalam aula hanya tamu undangan yaitu kedua orang tua, kami tetap menanti dengan riang di luar aula. 

Tristan, anak Paul dan Dea kini berusia tiga setengah tahun, wajahnya mirip sekali Paul kecil. Putih bersih, ceria dan nggak bisa diam.

"Tris, diam dong, Mas Rain capek," seru Rain. Bocah berusia menjelang delapan tahun itu duduk mengelus-elus kedua kakinya di emperan aula. Mereka berdua tadi sibuk bermain kejar-kejaran. Rain dan Tristan lebih terlihat seperti kakak beradik, dibandingkan om dan keponakan.

Aku dan Paul asyik mengobrol tentang pekerjaan kami. Perjuangan Paul untuk bisa lulus kuliah memang luar biasa. Ia harus bersusah payah kuliah sambil bekerja. Alhamdulillah, tahun kemarin ia bisa juga lulus dari fakultas hukum. Beberapa bulan kemudian, ia diterima bekerja di sebuah firma hukum. Tempat Paul bekerja ini bergerak di bidang pelayanan yang menangani permasalahan-permasalahan hukum yang ada di perusahaan. Sejak kerja kantoran, Paul tidak lagi bekerja sebagai driver angkutan online

Selain membahas pekerjaan, Paul juga bercerita kalau ia sedang menabung untuk membeli rumah untuk keluarga kecilnya.

"Tinggal dengan orang tua kalian memang nyaman. Tetapi kalau begini terus, nggak bikin kami berdua dewasa dan hidup mandiri. Jadi gue dan Dea memutuskan untuk membeli rumah. Tak apa kecil, nanti kan bisa tumbuh," terangnya serius. Tristan yang tadi sibuk berlari, kini berhambur ke pelukan papanya.

"Papa!" teriaknya. Paul mengusap kepala putranya. Kulihat Dea sedang mengobrol dengan Rain. Dengan kameraku, sudah kuambil beberapa jepretan suasana wisuda Risa. Sebelum masuk aula, semua anggota keluarga sudah kuabadikan berfoto bersama Risa, sang wisudawati. 

Tak terasa sudah dua setengah jam, prosesi wisuda di dalam aula sepertinya sudah selesai. Beberapa menit kemudian muncul Risa, Ayah dan Bunda. Risa terlihat anggun dengan kebaya muslimahnya. Ia menghampiri kami.

"Ciye yang sudah wisuda," godaku. Risa hanya tertawa kecil.

Paul ikut menyelutuk, "Tinggal cari cowok deh, Ris." 

"Ih Kak Paul, Risa nggak mau pacaran," protesnya.

"Iya, cari cowok buat jadi suami, lah," ujar Paul lagi. Risa menatapku yang berdiri di depannya. Pandangan mata kami bersirobok. Tak seperti biasa, di mana aku akan memalingkan wajah. Kali ini aku membiarkannya. Baru kusadari, betapa indah mata adikku ini. Bola matanya hitam dengan bulu lentik menghiasi. Sesuatu berdetak cepat di dadaku. Seakan waktu berjalan lambat, hanya ada aku dan Risa. 

"Ris, yuk kita antri foto di booth," ujar Bunda. WalauWalau sudah membawa kamera sendiri, tetap saja Bunda ingin kami sekeluarga berfoto di booth foto yang disediakan kampus. Panggilam Bunda berhasil mengalihkan perhatian Risa. Ia pun mengikuti Bunda menuju booth foto. Aku menghela napas. Sial, bisa-bisanya aku khilaf. Aku terpesona kecantikan Risa.

Untuk mengusir debur di dada, aku mengalihkannya dengan sibuk mengutak-atik kamera. Aku tak menyadari ada sepasang mata yang sedari tadi mengamati tingkahku. 

"Ayo semuanya ikut foto bareng," perintah Bunda. Kami lalu berkumpul di booth foto dan menjalani sesi foto keluarga. 

Lihat selengkapnya