Aku mendengar bunyi ketukan dari balik pintu. Bergegas kubuka pintu, membiarkan adikku masuk ke dalam. Ia langsung tengkurap di ranjang. Tangannya memegang mouse. Lalu asyik melihat satu per satu foto-foto wisuda Risa kemarin.
“Wah, cakep-cakep, Mas fotonya. Hidup banget, pencahayaannya juga bagus.”
Aku memilih duduk di kursi belajar yang kuputar pososinya.. Jadi aku bisa menaruh dagu ke sandaran kursi.
“Katanya kemarin Dea mau ngobrolin sesuatu sama Mas. Apaan?” tanyaku to the point. Laki-laki memang begini. Langsung ke tujuan.
Dea tersenyum. Ia pun bangun dari posisinya. Kini ia duduk di pinggir ranjang. Mata bulatnya menatapku lekat.
"Mas, jawab jujur, ya. Apa Mas suka Risa?" Jelas aku kaget mendengar pertanyaan adikku ini. Aku menelan ludah, dan menyugar helaian rambut dengan jemari. Tetap tenang, Rio. Teriak batinku menyemangati.
Aku terkekeh. "Eh, kok nggak ada angin, nggak ada hujan, Dea tanya itu sama Mas?" tanyaku heran.
Dea masih menatapku. Ekspresi wajahnya sangat serius. Walau pelan, aku mendengar ucapannya. “Karena... Aku melihatnya, Mas.”
Aku mengernyit bingung.
“Hei, ngeliat apa?”
Dea kini menghela napas. “Mas, aku pernah merasakan jatuh cinta. Paham gesture atau gerak tubuh orang yang sedang kasmaran. Aku tahu, Mas.”
“Lalu?”
Adikku menggeleng.
“Aku sudah lama memperhatikan. Tapi, selama ini aku diam karena aku tahu Mas Rio pasti juga menahan diri. Tapi kemudian Risa malah kuliah di Bandung. nggak melakukan hal-hal aneh.” Dea kini memandang ke arah jendela. “
“Aku sudah lama memperhatikan. Tapi, selama ini aku diam karena aku tahu Mas Rio pasti juga menahan diri. Tapi kemudian Risa malah kuliah di Bandung.” Ia terdiam sejenak lalu menoleh padaku. “Walau begitu, hatiku meyakini Mas Rio nggak akan melakukan hal-hal aneh. Mas Rio akan tetap jadi kakaknya Risa.”
Aku bergeming. Tak menyangkal atau mengiakan.
“Tapi... Kemarin aku melihat tatapan Mas pada Risa. Itu bukan tatapan seorang kakak pada adiknya. Itu tatapan orang yang jatuh cinta.”
Dea kini memandang ke arah jendela. Ia tidak tersenyum..
Aku mengusap poni yang menutupi dahi. Kebalikan Alvin, rambutku sekarang agak gondrong. Di tempat kerjaku saat ini tidak mempermasalahkan jika karyawannya ada yang berambut panjang.
"Lalu cuma karena tatapan, Dea menuduh Mas suka sama Risa?" Aku ingin memancing adikku bicara. Dea mengembuskan napas.
"Iya. Aku kenal Mas Rio. Mas itu kalau punya keinginan itu kuat banget. Harus dapet. Cenderung ambisius. Maka, rasanya aneh kalau Mas suka tapi diam saja. Biasanya cowok tuh kalau suka bakal gercep. Takut targetnya diambil orang. Tapi, aku menebak alasan mengapa Mas Rio menahan diri.”
“Apa?”
Dea tersenyum tipis. “Jadi, benar kan Mas naksir Risa sejak lama?”
Aku memandang wajah adikku. Dea yang sekarang begitu jauh berbeda. Dis kelihatan lebih dewasa. Pernikahan membuatnya jadi tumbuh. Aku tidak menjawab pertanyaan Dea. Hingga Dea menjentik jarinya, memanggil.
“Maaas.”
“Iyaaa, Dea.”
"Mas kalau ngomong sama Risa, selalu sibuk mandang ke lain arah. Itu aja udah aneh, Mas. Terus Mas Rio suka curi-curi pandang ke Risa. Hayok!”
Tentu saja aku mengelak. “Eh curi-curi pandang bagaimana maksud Dea?”
Dea kembali menggeleng. Wajahnya terlihat jutek. “Udah apa Mas, kita Cuma muter-muter. Mas Rio tinggal jawab suka atau nggak. Beres.”
Aku terdiam. Lalu menghela napas cukup panjang.