MENGEJAR CAHAYA

Wini Afiati
Chapter #23

SEBUAH JAWABAN

Mata indah itu membulat. Risa menutup mulut dengan kedua tangannya. Dia terlihat terkejut. Namun, ia berusaha mengatasi perasaannya. Ada semburat merah di kedua pipinya yang putih. 

"Risa ...," panggilku lembut. "Apa jawabanmu?" 

Ya Allah, apakah Risa akan menerima ajakanku? Kau tahu bagaimana rasanya bertahun-tahun memendam rasa, menutup rapat-rapat rahasia terdalammu? Menatap gadis yang kau cinta dalam diam. Dadaku semakin berdetak kencang. Menanti dengan hati berdebar yang serasa seabad lamanya. Aku menatap Risa yang belum jua menjawab. 

Ayo, Risaku, jawablah.

Waktu terasa berjalan lambat. Hening. Hanya suara detak jam dinding yang menemani. Aku menunggu jawaban.

Risa menunduk. Wajahnya semakin memerah. Cantik sekali melihatnya tersipu seperti itu. "Aaa aku ... mau ke kamar, Mas." Hah? Eh ya, mungkin pertanyaan ini terlalu cepat kuutarakan. Mungkin Risa butuh waktu untuk berpikir.

"Oh ok. Mas tunggu jawaban Risa, ya. Sebelum Mas balik lagi ke Bandung."

Risa tertegun. Ia menggigit bibirnya. Canggung. Itulah yang kurasakan sekarang.

"Ya sudah, Mas mau ke kamar. Selamat malam, Ris." Aku memutuskan untuk segera pergi dari ruangan keluarga ini.

Namun, hanya sekejap, mata kami bersirobok. Lalu kami sama-sama membuang pandangan. Ada sengatan listrik yang sangat terasa, duh.

"Aaa .... Aku mau, Mas," ucapnya pelan. Risa langsung membalik badannya dan berjalan cepat menuju kamarnya.

Mau? Risa jawab dia mau, kan? Balon-balon di hatiku yang tadi melesak-lesak memenuhi rongga dada, kini beterbangan bebas, melayang-layang ke angkasa.

Aku melompat girang, yes! Alhamdulillah. Besok, aku akan menemui Ayah, dan berkata jujur pada Bunda. Bismillah. Mudahkanlah ya Allah.

***

Saat hendak salat subuh ke masjid, aku berpapasan dengan Risa yang hendak ke kamar mandi. Tak seperti biasanya, kali ini Risa menunduk ketika melihatku. Wajahnya merah merona. Begitu pula aku. Sejak kejadian semalam, rasanya jadi serba salah. Kami jadi canggung.

"Pagi, Ris. Mas mau ke masjid dulu, ya." Ia mengangguk dan langsung masuk ke kamar mandi.

"Udah siap, Yo. Ayo," ajak Ayah. Rain adikku sedang memasang pecinya. Kami bertiga berangkat ke masjid. Aku dan Rain mencium tangan Bunda.

Setiba di rumah, lagi-lagi saat bertemu Risa, dia jadi salah tingkah. Duh, Ris, biasa saja kali. Kami jadi terlihat kikuk jika berada di tempat yang sama. Masalahnya kami serumah. Jadi selalu bertemu.  

Sekitar pukul tujuh, aku sedang duduk di ruang keluarga. Berdua Rain. Aku sedang menemani Rain bermain games. Ketika Risa muncul. Ia sudah berdandan rapi. Gamis dan jilbabnya senada. 

"Ris. Mau ke mana?" tanyaku ramah, mengusir kekikukan di antara kami.

"Ehm, Risa ada acara, Mas. Setiap Ahad pagi Risa mengisi pengajian adik-adik SMP, almamater kita dulu," ujarnya menunduk. 

"Oh, mau dianter?" tanyaku iseng. Risa terlihat terkejut. Refleks ia menggeleng.

"Eng. Nggak usah, Mas," jawabnya dengan menunduk. Semburat merah memenuhi wajahnya. "Tapi, Risa boleh pinjem motor Mas Rio, nggak?" Ia menatapku malu-malu, aku mengangguk. Pengin kujawab, bukan minta motor juga Mas kasih kok. Lalu teringat, betapa menyebalkan jika aku segombal itu. Itu bukan gayaku.

"Boleh. Ambil aja kuncinya di meja, di kamar Mas." Risa mengangguk dan segera berlalu. Tak lama ia muncul dan pamit.

"Hati-hati ya, Ris." Ia mengangguk.

Kulihat pagi ini waktu yang tepat untuk bicara. Bunda masih sibuk di dapur, mungkin sedang menyiapkan makanan untuk nanti siang. Saat itu aku melihat Ayah tengah duduk santai di taman kecil dekat kamarku. Ia sedang membaca sebuah buku. Hm, kesempatan bagus nih. Aku menghampirinya.

"Ay, ada hal penting yang mau Rio omongin, nih," ujarku mantap.

Ayah menutup bukunya dan memandangku heran. Ia membetulkan kaca matanya yang melorot.

"Oh, kenapa Yo? Duduklah."

Aku mengambil posisi duduk di samping Ayah. Angin semilir berembus pelan, terasa menyentuh ujung kulitku. Aku menarik napas pelan, mengumpulkan keberanian.

"Yah, tahun ini Rio mau lanjut kuliah S2. Rencana mau ambil kuliah digital arsitektur dan desain. Kebetulan jurusan itu ada di University of Shefield, Inggris."

Ayah menatapku lekat. Ia merapikan lagi posisi kaca matanya.

"Oh, bagus itu melanjutkan kuliah. Tapi, biaya kuliahnya bagaimana? Kamu ada uangnya? Kan mahal, Yo."

Lihat selengkapnya