MENGEJAR CAHAYA

Wini Afiati
Chapter #24

SUARA HATI

POV Risa

Aku biasa memanggilnya, Kak Rio. Kakak kelasku yang duduk di kelas sembilan, sedangkan aku baru duduk di kelas tujuh. Kami sama-sama ikut ekskul Paskibraka. Ada yang menarik dalam dirinya yang membuat hati-hati para wanita meluruh jika berada di dekatnya. Ia cowok ganteng yang cool dan tidak terlalu memedulikan tingkah teman-temanku yang suka kecentilan tiap kali ia datang memandu kami.

Beberapa kali aku tak sengaja memergokinya sedang memandangku. Jika ketahuan begitu, ia hanya melempar senyum dan melanjutkan aktivitasnya. 

Oh iya, nanti hari Minggu, Bunda bilang akan mengenalkan Pak Arya dan anak-anaknya ke rumah kami. Sudah beberapa waktu ini Bunda sering bercerita tentang Pak Arya. Aku tahu Bunda ingin meminta persetujuanku jika ia akan menikah lagi. Aku tak masalah, Ayah telah lama meninggal. Aku juga kesepian hanya tinggal berdua Bunda. Nanti jika Bunda menikah dengan Pak Arya, aku akan memiliki dua saudara, anak-anak Pak Arya.

Hari Minggu pun tiba, Bunda memintaku membuka pintu gerbang, aku menuruti perintahnya. Aku tersenyum pada Pak Arya dan anak-anaknya. Saat itu seseorang turun tergesa dari dalam mobil, ia berlari membantuku membuka pintu gerbang. Aku terkejut saat melihat wajahnya. Kak Rio.

Dia tersenyum simpul padaku, "Hai, Risa," sapanya ramah. Aku membalas senyumnya dengan riang. 

Seharian itu tingkah Kak Rio sangat lucu, ternyata dia tidak se-cool seperti di sekolah. Walaupun adiknya sangat jutek, Kak Rio terlihat sabar dan bisa menjadi penengah kami.

"Rukun-rukun ya, Ris sama Rio dan Dea. Mereka akan menjadi saudaramu, " pesan Bunda padaku. Aku mengangguk. Aku suka Kak Rio dan berusaha bersikap baik pada Dea.

Bunda akhirnya menikah dengan Pak Arya, mulai saat itu aku harus membiasakan diri memanggilnya dengan sebutan Ayah. Begitu juga dengan Kak Rio. Aku mengikuti Dea yang memanggilnya menjadi Mas Rio.

***

Setelah satu rumah dengan Mas Rio, aku semakin kagum padanya. Dia seorang kakak yang baik hati. Pernah aku menangis karena nilai matematikaku jelek. Mas Rio menghampiriku dan mengajari hingga aku mengerti. Sejak itu jika aku kesulitan dalam pelajaran sekolah, ada Mas Rio yang suka mengajariku. Senangnya punya seorang kakak yang pintar dan lucu.

Aku sudah dari kecil, terbiasa memakai jilbab. Bunda berpesan padaku agar tetap memakai jilbab jika ada Mas Rio. Awalnya aku bingung, hingga akhirnya aku tahu jawabannya. Walaupun aku dan Mas Rio menjadi adik kakak karena pernikahan kedua orang tua kami, tetapi aku bukan mahramnya jadi aku tidak boleh membuka aurat di depannya. 

Saat itu di bulan Mei, saat aku sudah duduk di bangku SMU, tanpa sengaja aku mendengar obrolan Bunda dan Ayah tentang Mas Rio yang akan kuliah di Bandung. Hatiku tiba-tiba sedih, aku akan kehilangan kakakku.

Saat itu di ruang keluarga, kuhampiri Mas Rio yang sedang duduk di sofa. "Mas, apa nanti mau kuliah di Bandung?" Mas Rio yang sedang sibuk mengutak-atik kameranya menghentikan aktivitasnya, ia menoleh padaku.

"Hm, iya. Kenapa?" tanyanya santai dan kemudian sibuk dengan kameranya kembali.

"Kenapa Mas nggak kuliah di sini, aja? Nanti Mas Rio indekos dong kalau di Bandung. Jarang pulang," ujarku cemberut. Dia malah tertawa lebar.

"Ih kamu kayak paranormal, Ris. Itu kampus keren. Mas sudah lama pengin kuliah di sana. Lagian kalau libur kan, Mas bisa pulang. Jakarta-Bandung nggak jauh, bisa ditempuh sekitar tiga jam."

Aku terdiam. Entahlah, ada rasa kehilangan. Mas Rio adalah orang yang membuatku betah tinggal di rumah ini. Aku menikmati memiliki seorang kakak laki-laki. Ada yang melindungi, tempat bercerita, dan mengadu.

Benar saja, setelah Mas Rio kuliah di Bandung, ia ternyata sangat jarang pulang ke rumah. Aku rindu padanya, begitu juga Rain. Kami sering melakukan video call sekadar menyapa dan saling tahu kabar.

Sejak Mas Rio kuliah, aku mulai merasa ada sesuatu dengan Mas Rio. Dia terlihat berbeda, lebih menjaga jarak, lebih religius. Ia hanya berbicara seperlunya, lebih suka mendengarkanku bicara tanpa perlu menatap.

Aku juga sering memergoki Mas Rio sedang memandangku diam-diam. Jika ketahuan, Mas Rio akan membuang pandangannya. Tapi dulu, aku merasa biasa-biasa saja, tak berpikir macam-macam.

Saat kelas dua belas, aku mulai mengukur kemampuan, aku akan kuliah di Bandung, agar dekat dengan Mas Rio. Aku serius belajar dan alhamdulillah Allah mengabulkan doaku. Aku lulus SBMPTN dan diterima di sebuah kampus negeri di Bandung. Ayah dan Bunda lalu menitipkanku pada Mas Rio untuk menjagaku.

Di kampus yang berlokasi di jalan Dipati ukur ini, aku bersyukur bisa tetap ikut pengajian rutin yang dikelola kakak kelas, seperti di masa SMU. Aku pun aktif dalam kegiatan keislaman di kampus. Walau sama-sama di Bandung, aku jarang beraktivitas bareng dengan Mas Rio. 

Kami punya aktivitas masing-masing. Mas Rio sibuk dengan kuliah dan pekerjaan sampingannya, sedangkan aku sibuk di organisasi kemahasiswaan. Sesekali kami bertemu, kadang janjian pulang bareng ke Jakarta.

Aku merasa ada yang disembunyikan Mas Rio dan Kak Alvin. Sering kali Kak Alvin bertingkah aneh, ia suka menggoda Mas Rio dan biasanya Mas Rio marah padanya. Aku tak tahu apa yang mereka rahasiakan.

Yang kutahu entah sejak kapan, dadaku mulai berdetak tak beraturan jika berada di dekat Mas Rio. Apalagi jika tanpa sengaja mata kami bertemu, tatapannya itu terasa menembus hatiku, menimbulkan desir-desir halus di dada ini. 

Ah, inikah yang disebut jatuh cinta? 

Astaghfirullah. Bagaimana bisa aku jatuh cinta pada kakakku sendiri? 

***

Suatu hari, aku menerima pesan singkat dari Mas Rio.

[Ris, Mas mau pulang ke Jakarta dan ada yang mau Mas bicarain ke kamu.]

Aku membalas pesannya dengan mengirim emoticon senyum.

[Ok Mas, Risa tunggu, ya.]

Bunda sedang kurang sehat, sehingga memintaku untuk membukakan pintu saat Mas Rio pulang. 

Malam itu sekitar pukul sepuluh, Mas Rio tiba di rumah. Aku membukakan pintu. Walau wajahnya terlihat letih, ia tetap terlihat bersinar, kakakku yang ganteng, di bibirnya tersungging senyum hangat.

"Kok sepi banget, udah pada tidur, ya?" tanyanya. Aku jelaskan jika Kak Paul, Dea dan Tristan sedang menginap di rumah orang tuanya Kak Paul, sedangkan Ayah, Bunda dan Rain sudah tertidur pulas. 

Ia melepas ransel dan mengeluarkan oleh-oleh, tentu saja Mas Rio tak pernah lupa membawa makanan kesukaanku, brownies original. Aku menerima kotak brownies dengan mata berbinar-binar.

"Mas, mandi dulu ya, Ris," ujarnya. Aku mengangguk dan melanjutkan menonton televisi. 

Selesai mandi, ia duduk di sampingku, dengan jarak yang tak terlalu dekat. 

"Ris, ada yang mau Mas omongin," ucapnya lembut. Aku mengangguk dan menunggunya bicara.

"Iya, Mas, silakan." 

Kakakku terlihat salah tingkah. Ia merapikan rambutnya yang gondrong, menggosok-gosok telapak tangannya dan wajahnya terlihat sedikit memerah.

"Risa, menikahlah dengan Mas." 

Lihat selengkapnya