MENGEJAR CAHAYA

Wini Afiati
Chapter #26

JANJI SUCI

Satu minggu sebelum wedding anniversary Bunda dan Ayah, aku telah tiba di tanah air. Semua keluargaku menjemputku di bandara, termasuk Risa. Aku menghampirinya yang terlihat lebih pendiam.

"Hai Risa," sapaku santai, berusaha mencairkan suasana. Ia mengangguk dan tersenyum. Di sampingnya, berdiri Dea yang langsung memelukku.

"Mas Rio, Dea kangen," ujarnya, dan disusul Rain dan Tristan, yang minta dipeluk dan digemblok. Ha ha, sudah seperti selebriti aja yang dipeluk para fans. Aku mencuri pandang pada Risa yang hanya diam mengamati.

Aku mencium tangan Ayah dan Bunda. Paul menepuk bahuku, kami tos ala anak KPF, mengenang nostalgia SMU, dan tertawa keras seusainya. Semua terlihat tertawa gembira. 

***

Malam ini, kami makan bersama, merayakan kebersamaan kami dan kelulusanku, gelarku bertambah sekarang dengan embel MSc. Kali ini cukup dirayakan dengan makan pizza buatan Bunda yang terkenal lezat.

Ayah tiba-tiba berdiri. "Harap tenang semuanya." Kami yang sedang sibuk mengobrol dan makan, memusatkan perhatian kepada Ayah. 

"Alhamdulillah, kebanggaan kita semua, Mas Rio sudah menyelesaikan studinya di University of Sheffield sesuai batas waktu yang diberikan. Beri tepuk tangan untuk Mas Rio." Semua riuh gembira dan memberi tepuk tangan. Aku berdiri dan bergaya bak selebriti, membuat Tristan sang keponakan tertawa geli. Bocah TK itu berbinar-binar, begitu pula Rain.

"Nanti kalau Rain udah gede, juga mau kayak Mas Rio sekolah di luar negeri," ujarnya lantang, yang diaminkan semua. 

"Tristan juga mau!" teriak si bocah lima tahun itu tak mau kalah.

"Sudah-sudah, semua anggota keluarga Arya semoga sukses dunia akhirat ya. Nah, Ayah punya pengumuman penting. Simak baik-baik." Semua mata tertuju pada Ayah menanti apa yang akan diumumkannya.

"Anak-anak, seminggu lagi Ayah dan Bunda memasuki sepuluh tahun usia pernikahan. Ayah menimbang-nimbang dan sudah diskusi dengan Bunda, bahwa tahun ini anniversary kami ini akan kita rayakan dengan ... berlibur bersama di Pulau Gili Air Lombok!" teriak Ayah bersemangat.

"Yeay, mantap, Ayah!" Suasana si ruang makan menjadi ramai. Tentu saja semua antusias menyambut ide sang Ayah. 

***

Gili Air, seminggu kemudian.

Embusan angin menerpa wajahku, terdengar deburan ombak yang khas dan kicauan burung Gili yang terbang di sekitar pantai. Aku duduk di sebuah resto di pinggir pantai bersama Risa. Loh kok cuma berdua? Ya, tadi semua berkumpul di sini, dan satu persatu melakukan aktivitas masing-masing.

Dea dan Paul mengendarai sepeda mengelilingi pantai, sedangkan Rain dan Tristan sibuk mencari kerang dan pasir. Kata Rain, ia mau membawa pulang kerang dan pasir untuk oleh-oleh. Memang pasir di sini butirannya lembut dan putih bersih. Ayah dan Bunda tadi berjalan bergandengan tangan menyisiri pantai, sehingga tersisalah kami berdua tanpa disengaja.

Aku sibuk melahap sepiring nasi suka raja, makanan khas Lombok berupa nasi campur yang diolah dengan campuran sayuran dan bumbu khusus yang dimasak bersama santan.

Risa menatap pemandangan di depannya. Sejak hari itu kami tak lagi berkomunikasi, aku banyak tahu kabar Risa hanya dari cerita Dea. Rasanya sedikit kikuk. Aku berdehem kecil, dan memulai percakapan.

"Bagaimana kabarmu, Risa?" ujarku riang. Wajah itu menoleh dan menyisakan rona merah muda. Ia masih tersipu ketika disapa. Aduh. Tahan dirimu, Rio, Risa sudah dilamar orang lain, ia akan menikah bukan denganku. 

"Alhamdulillah, baik, Mas. Bagaimana dengan Mas Rio?" tanyanya lembut. Aku tersenyum.

"Kalau Mas bilang nggak baik, terus Risa bisa bikin jadi baik?" ucapku menggodanya. Wajah itu semakin memerah. Risa terlihat salah tingkah. 

"He he, Mas hanya bercanda, Risa. No hurt feeling, oke?" Aku tertawa kecil. Aku sudah dewasa dan mulai bisa menerima kenyataan. Walau pahit, apa lagi yang bisa kuperbuat. 

"Mas akan kembali ke Bandung?" tanyanya pelan tanpa menatapku.

"Tadinya Mas rencana mau tinggal di Jakarta, buka biro arsitektur di rumah, eh ternyata rencananya berubah." Ya berubah karena aku tak jadi menikah dengan Risa, batinku. "Mas akan tetap tinggal di Bandung. Ya hampir enam tahun tinggal di sana, rasanya sudah seperti kampung sendiri. Aku tersenyum.

Risa menunduk dan mengaduk-aduk gelas es buahnya, ia menyeruput pelan dan menatapku. Mata itu tidak berbinar-binar, malah terlihat layu. Harusnya kau bahagia Risa, kau akan menikah dengan pria pilihanmu. 

Kau menghela napas, dan aku melihat ada yang menggenang di pelupuk matanya. Oh tidak, jangan menangis Risa. Tidak di saat ini. 

Ia mengejap-ngejapkan matanya, berusaha agar tetes itu tidak mengalir jatuh. Aku tak tega melihatnya. Kusodorkan sekotak tisu yang ada di meja.

"Katakan saja apa yang Risa rasakan. Menangislah jika itu membuatmu lega. Mas mendengarkan," ucapku yang membuat Risa terlihat semakin canggung.

"Maaf, Mas. Aku merusak suasana." Ia bergegas menghapus bening yang tiba-tiba mengalir.

"Hari itu aku marah pada Mas Rio karena Mas lebih memilih kuliah daripada aku. Aku sudah istikharah dan tidak bermimpi apa-apa. Aku tak tahu harus bagaimana, jadi kupikir kucoba saja menerima lamaran Fauzan." Air mata itu jatuh menderas.

"Hasil istikharah tidak mesti lewat mimpi, Ris, tetapi dari kemantapan hati," ucapku mengingatkan.

"Iya Mas, Risa salah. Akibatnya kemudian aku menyesal, Mas. Aku menyesal mengapa begitu bodoh menerima lamaran Mas Fauzan padahal hatiku selalu untukmu. Aku ...." Ia menghentikan kata-katanya dan mengusap pipi yang basah dengan tisu.

Aku menunggu Risa bercerita sambil meneguk air putih yang tersaji di meja dan berusaha untuk tetap tenang. Apa yang bisa kulakukan, semua kan sudah terjadi. Aku tak boleh mempengaruhi Risa untuk membatalkan lamarannya, itu sebuah perbuatan tercela yang tak disukai-Nya. 

"Lalu? Bagaimana dengan emm ... Fauzan?" ucapku sambil berusaha tetap tenang.

Lihat selengkapnya