Mengejar Dosa

Rifin Raditya
Chapter #3

Tarbiyah Rayuan Setan

Cahaya sore mengalir lembut dari jendela kayu surau yang terbuka. Ruangan itu dipenuhi para santri dan santriwati yang duduk bersila, dipisahkan oleh sekat kayu sederhana. Mereka menyimak pelajaran kitab Safinatun Najah yang dibimbing oleh Gus Afif, putra pemilik pondok pesantren, lelaki 28 tahun dengan sorot mata yang tenang namun menguasai ruangan.

“Sudah paham penjelasan barusan?” tanyanya.

Beberapa santri mengangguk serempak.

“Paham, Gus!”

Gus Afif kemudian menyapu pandangan ke arah barisan santri. “Yazid.”

Yazid langsung menengok sigap. “Iya, Gus?”

“Coba sebutkan apa saja yang termasuk najis besar.”

“Najis mughallazah, anjing, babi, dan semua yang lahir dari keduanya.”

“Bagus.”

Di sisi lain, Aji mengangkat tangan ragu. “Maaf, Gus... saya mau tanya. Kenapa babi itu haram dimakan?”

Suasana mendadak mengeras. Gus Afif menatap Aji, tatapan tajam, terbungkus kesabaran palsu, jenis kesabaran yang ia keluarkan hanya ketika benar-benar muak namun masih harus menjaga wibawa. Pertanyaan seperti itu sudah terlalu sering ia dengar akhir-akhir ini, bukan hanya dari Aji, tapi dari banyak orang yang merasa dirinya paling kritis hanya karena berani menggugurkan satu dua hal yang sebenarnya tidak mereka pahami. Dan tiap kali muncul, ada rasa kecil dalam dirinya yang terusik, kenapa seorang muslim zaman sekarang makin berani menggugat hal-hal yang sudah ditentukan dalam kitab suci?

“Sudah dijelaskan tadi. Karena babi termasuk najis berat, mughallazah.” Ia mengambil jeda kecil. “Islam punya standar kebersihan lahir dan batin. Dan itu bukan sekadar budaya, tapi syariat.”

Dari barisan belakang, Yazid berbisik mengejek, “Tuh kan... makanya dengerin.”

Aji tidak terpengaruh. Ia tetap menatap Gus Afif, seolah tak puas dengan jawabannya. “Tapi, Gus... di luar negeri banyak yang makan. Bahkan katanya sehat...”

“Itu cara berpikir liberal, Ji. Jangan ukur halal haram dengan tren luar negeri.” Suara Gus Afif tetap tenang, tapi intonasinya tegas. “Kita punya pedoman sendiri. Al-Qur'an, Hadis, dan fatwa para ulama.”

Ia kembali memberi jeda. “Ingat, yang haram bukan hanya karena zatnya, tapi juga karena perintah Tuhan. Dan tugas kita itu, taat, bukan debat.”

Dari pintu surau, Adam—santri ndalem—masuk perlahan. Ia jongkok sopan saat melewati santri lain, lalu mendekati Gus Afif dan berbisik, “Bapak Kyai mau keluar, Gus disuruh menemui dulu.”

Gus Afif mengangguk, menutup kitab di atas rekal kayu, lalu berkata, “Baik. Ngaji kita cukupkan dulu sampai sini.” Tatapannya lembut ke seluruh muridnya. “Semoga apa yang kita pelajari hari ini jadi ilmu yang manfaat dan berkah.”

“Amin!”

“Wabillahi taufiq wal hidayah, wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.”

“Wa’alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh.”

Ia bangkit, menyimpan kitabnya, dan melangkah keluar surau.

Di halaman pondok yang diterangi cahaya senja, Gus Afif menuruni tangga dengan langkah tenang. Kyai Munthar dan Nyai Rohmah sudah berdiri di samping mobil, siap berangkat.

“Mau berangkat sekarang, Pak, Bu?” tanya Gus Afif pelan.

Kyai Munthar mengangguk ringan. “Iya, Le… Titip pondok. Paling tiga hari, insyaAllah.”

Lihat selengkapnya