Raymon memarkir motor Astrea tuanya di depan rumah kecil itu, lalu masuk tanpa mengetuk. Di dalam, ia menemukan Samsul seperti biasa—terjebak dalam dunia Mobile Legends, duduk di kasur tipis yang sudah mulai kempes, ditemani kipas angin yang berputar tak niat. Ada ransel besar di samping anak itu, menunggu dibawa pergi, seolah lebih siap daripada pemiliknya.
“Main game terus,” keluh Raymon sambil menyenderkan bahu di pintu. “Udah di-packing semua?”
“Udah,” jawab Samsul tanpa menoleh sedikit pun.
“Bapak ibu kamu mana?”
“Kerja,” katanya, tetap sibuk menghajar musuh digital.
Raymon menggeleng. “Tega banget. Anaknya mau pergi jauh malah pada kerja.” Ia mendekat, mengangkat ransel itu untuk memastikan beratnya. “Kamu siap beneran tinggal di pondok pesantren?”
“Ya gimana lagi. Orang dipaksa,” jawab Samsul sambil menangkis serangan terakhir di layar.
Raymon merampas ponselnya. “Udah, ih. Ayo.”
“Ngeselin banget!” Samsul memprotes.
“Mau berangkat sekarang atau tahun depan?”
Keduanya keluar rumah, mengunci pintu. Motor tua Raymon menyala setelah dua kali tendangan, seperti maksa hidup. Jam menunjukkan pukul sembilan pagi. Samsul menaruh ranselnya di tengah dan naik. Motor itu perlahan menjauhi rumah yang menjadi saksi dari masa kecil, kesedihan, dan kebiasaan kabur dari masalah.
Samsul menengok sekali—rumah itu mengecil, dan entah kenapa terlihat lebih sunyi daripada biasanya. Ia tidak menangis. Tapi dadanya terasa penuh.
Di jalan raya, baliho capres-cawapres berdiri dengan senyum palsu yang sama, mengiringi perjalanan mereka.
“Di pesantren nanti baik-baik, jangan kayak di rumah. Di sana itu beda, nggak bisa semaumu,” ucap Raymon di tengah ramainya jalan.
“Apa? Nggak kedengeran.”