Trotoar sempit itu sudah riuh sejak pagi, tapi bagi Aji, Yazid, dan Samsul, semua hiruk-pikuk itu hanyalah latar dari langkah panjang menuju sekolah. Motor-motor berseliweran tanpa aturan, ibu-ibu menyapu halaman sambil berteriak mengingatkan anaknya sarapan dulu, bapak-bapak berangkat ke kebun dengan topi lusuh mereka, dan anak-anak SD berlarian sambil menyeret tas besar yang hampir lebih tinggi dari tubuh mereka.
Baliho capres-cawapres berdiri kaku di pinggir jalan-wajah-wajah besar yang tersenyum palsu-mengamati mereka bertiga seakan tahu segalanya tapi tak bisa berbuat apa-apa. Suasana pagi itu ramai, tapi di kepala Aji dan Yazid, hari terasa biasa saja. Bagi Samsul yang baru beberapa hari tinggal di pondok, semua itu masih terasa asing. Aroma tanah basah, suara orang lewat, ritme yang lebih lambat dari kota namun lebih bising dari rumahnya sendiri.
Di kantin sekolah, dunia yang tadinya penuh suara berubah menjadi kekacauan yang lebih akrab. Aroma bakso mengepul dari dapur kecil, suara gelas beradu, anak-anak antre dengan wajah kelaparan seperti baru selesai perang. Mereka bertiga langsung mengambil tempat di meja pojok.
"Karena kamu baru masuk sekolah," kata Yazid sambil menunjuk Samsul dengan gagah, "hari ini jajananmu aku traktir deh."
Samsul mengangguk pelan, masih malu-malu. "Ok. Makasih."
Aji memanyunkan bibir. "Aku nggak ditraktir juga?"
Yazid mendesah dramatis. "Iya, iya. Ya udah deh."
Aji mendekat ke Samsul dan berbisik, "Orang kaya dia. Porotin aja."
Yazid langsung menoyor kepala Aji. "Yee, enak aja."
Tawa kecil muncul, mencairkan suasana, sementara Samsul makan baksonya dengan tenang. Ia masih berusaha menerima bahwa ada orang-orang di sini yang mau dekat dengannya tanpa alasan. Sesekali ia mengamati siswa-siswa lain, mencoba menghafal wajah-wajah baru. Tapi tetap saja, ada jarak tipis yang belum bisa ia lewati.
Hari berjalan perlahan, dan matahari mulai condong ketika mereka kembali ke aktivitas pondok. Setelah makan siang, mengaji, dan ikut kegiatan sore, para santri mulai berkumpul di kamar masing-masing. Di lorong, sandal jepit berjejal, bau minyak kayu putih bercampur dengan wangi sabun murahan, dan suara anak-anak mengaji terdengar dari berbagai arah seperti gema yang saling berkejaran.
Di dalam kamar, suasana hidup dalam ritme pesantren: dentingan pulpen, hafalan kitab yang diulang-ulang, obrolan pelan tentang tugas sekolah atau kabar kampung. Aji dan Yazid duduk berdampingan di lantai, mengerjakan PR sambil sesekali cekikikan melihat meme di ponsel mereka.
Samsul, santri baru yang masih mencari pijakan, duduk di sudut ruangan. Ia memeluk lutut, ponsel di tangan, tenggelam dalam Mobile Legends. Jemarinya lincah, napasnya naik-turun, ekspresi wajahnya berubah mengikuti jalannya permainan. Dunia digital itu memberinya sesuatu yang dunia nyata belum berikan, kendali.
Adam tiba-tiba masuk, wajahnya serius sebagaimana tugasnya sebagai pengurus pondok pesantren . Tanpa basa-basi ia mencubit telinga Aji sambil mendekatkan wajah.
"Temenmu itu, bilangin... Lah kok malah main game?"
Aji menoleh dengan ekspresi salah, sedangkan Yazid hanya nyengir lebar. Sementara itu, Samsul tetap tak terganggu sama sekali. Mata dan pikirannya tertancap pada layar, seolah segala aturan pondok hanyalah notifikasi yang bisa ia swipe ke samping.