Langit malam membentang tenang di atas halaman masjid yang dipenuhi cahaya lampu hias. Udara membawa aroma makanan dari dapur umum dan suara pengeras yang menyala dari panggung utama. Malam itu, dalam rangka menyambut Tahun Baru Hijriah, masyarakat berkumpul untuk mengadakan syukuran. Ratusan orang duduk bersila di atas terpal panjang, berbaris rapi menghadap panggung tempat para ulama menyampaikan tausiyah.
Di depan mereka semua, Gus Afif berdiri dengan sorban melilit rapi di pundaknya. Ia menggenggam mikrofon, suaranya mengalun tenang namun mengandung daya tekan yang membuat seluruh halaman terfokus kepadanya.
“Sebagai umat Islam,” ujarnya, lembut namun tegas, “kita itu harus terus memperbaiki diri. Dari tahun ke tahun, harus ada perubahan yang lebih baik. Jangan malah makin ngawur.”
Dari bagian belakang halaman, Samsul dan Yazid muncul tergesa. Mereka terlambat, berjalan perlahan di antara jamaah yang sudah duduk tenang. Beberapa wajah menoleh pada mereka, namun tak ada yang benar-benar memperhatikan. Semua kembali fokus pada suara dari panggung.
“Coba lihat berita-berita di kota besar…” lanjut Gus Afif, menggeleng kecil. “Begal merajalela. Penipuan makin canggih. Pergaulan bebas kayak sudah jadi hal biasa.”
Samsul dan Yazid akhirnya tiba di barisan tempat Aji duduk. Mereka menyingkirkan sandal dengan pelan lalu ikut bersila.
“Dari mana aja?” bisik Aji, sedikit menoleh.
“Belakang,” jawab Yazid santai. “Perut error barusan.”
Aji hanya mengangkat alis. “Tumben telat.”
Mereka kembali menatap panggung.
“Padahal… kalau dicek KTP-nya?” lanjut Gus Afif dari pengeras suara. “Islam semua.”
“Islam KTP!” jawab jamaah hampir bersamaan.
Gus Afif tersenyum tipis, menikmati interaksi itu. “Ngaku Islam, tapi kelakuan kayak nggak kenal Tuhan.” Ia berhenti sejenak, menatap jamaah satu per satu. “Lha, terus apa bedanya sama yang nggak punya agama?”
Beberapa jamaah mengangguk. Ada pula yang tertawa kecil saat Gus Afif mulai memainkan humor khasnya.
“Kalau mau jadi muslim, ya ikut aturannya. Kalau nggak mau, jangan pura-pura.” Ia tersenyum, matanya berkilat nakal. “Agamamu agamamu, surgamu surgamu, katanya. Tapi ya lihat dulu… surgamu isinya apa.”
Tawa pelan menyambar di berbagai sudut halaman. Gus Afif tertawa kecil sebelum melanjutkan.
“Kalau kita?” ujarnya dengan nada ringan. “Surganya bidadari. Banyak. Cantik-cantik.” Ia menunduk sebentar, lalu menatap jamaah dengan tawa lepas. “Makanya, yang laki-laki… daripada boros di dunia, mending irit dikit. Siapa tahu tabungan syahwat bisa dipakai di akhirat.”
Kali ini jamaah benar-benar terbahak. Ada yang menutup mulut sambil tersenyum, ada yang menggeleng-geleng sambil tertawa.
“Hehe… namanya juga ngingetin,” katanya sambil merapikan sorban. “Tapi intinya, yuk—tahun ini harus lebih baik dari tahun kemarin. Jangan cuma umur yang nambah, tapi iman tetap jalan di tempat.”
Tawa perlahan mereda. Jamaah kembali hening dan menyimak, beberapa mengangguk pelan. Dan di tengah keramaian itu, suara Gus Afif menjadi pusat malam. Suara yang menenangkan, memikat, sekaligus menyimpan sesuatu yang tak pernah benar-benar diketahui oleh semua orang yang duduk di hadapannya.