Adam masuk ke kamar santri sambil membopong kotak kardus berisi ponsel milik para santri.
"Hp-hp! Yang mau ngerjain tugas sekolah, ambil nih!" serunya, suaranya penuh semangat.
Sejurus kemudian, beberapa santri berebutan mengambil ponsel masing-masing. Aji, Yazid, bahkan Samsul ikut mencarinya. Namun mata Samsul membesar ketika melihat kotak kardus itu-ponselnya tak ada di situ.
"Hp saya mana, Kang? Kan masa hukumannya sudah selesai," tanya Samsul, nada suaranya sedikit kecewa.
Adam menatapnya tajam. "Janji nggak buat nge-game?"
Samsul mengangguk mantap. "Janji, Kang."
Adam merogoh kantong jaketnya dan mengeluarkan ponsel Samsul. "Awas, kalau sampai main game," katanya.
"Iya, Kang," jawab Samsul cepat, menerima ponselnya.
Setelah itu, Adam berdiri di dekat pintu, memperhatikan para santri yang tenggelam dalam tugas masing-masing. Samsul menatap Adam sesekali, tapi matanya tetap terpaku pada buku yang terbuka di depannya—meski jelas ia tak membaca sepatah kata pun. Ia hanya menunggu momen pintu tertutup, seperti narapidana menunggu sipir pergi. Detik demi detik bergulir, hingga akhirnya Adam keluar dan menutup pintu dengan bunyi klik pelan.
Samsul menghela napas lega. Ia menoleh ke Yazid, menepuk pundaknya pelan. "Aku ke kamar mandi bentar. Siapa tahu ada yang nyariin."
Yazid hanya mengangguk, tetap fokus pada ponselnya. Samsul menyelipkan ponselnya ke balik sarung dan meninggalkan kamar dengan langkah cepat tapi hati-hati. Langkah yang terasa seperti ritual lama yang sudah terlalu hafal. Sembunyi, curi waktu, kabur dari kenyataan.
Malam itu sunyi. Angin pelan menggoyangkan ranting-ranting di halaman belakang pondok. Samsul menilik kiri-kanan, memastikan tidak ada yang mengawasi, sebelum memanjat pagar kecil dan melompat ke sisi lain. Langkahnya semakin cepat.