Mengejar Dosa

Rifin Raditya
Chapter #9

Awal Mula Petaka Besar

Suasana baru saja ramai: pintu dibuka, suara sepatu diseret, beberapa santri bercanda sebentar sebelum bergegas ke luar dari kamar santri. Kini ruangan itu kembali sepi, hanya menyisakan Samsul yang pura-pura sibuk merapikan tas—atau tepatnya, menunggu.

Ia menoleh ke arah pintu. Tak ada siapa pun. Hanya kicau burung dari halaman, menenangkan, tapi justru membuat kepalanya semakin tegang.

Lalu pandangannya bergerak ke sudut ruangan, ke sebuah loker yang pintunya tidak tertutup sempurna. Ia mendekat perlahan, seolah ada kekuatan asing yang menarik langkahnya. Tangannya menyentuh gagang lemari. Dingin. Ia menahan napas sejenak, mendengarkan detak jantungnya. Ada perasaan takut, dan agak merinding.

CREAK.

Loker itu terbuka.

Di dalamnya ada jaket, sarung, dan celana yang ditumpuk rapi. Seperti ruang kecil yang menjaga rahasia seseorang. Samsul menyibak tumpukan itu. Dan di bawah kain-kain itu—dompet terbuka.

Uang lima puluh ribu. Uang dua puluh ribu. Beberapa receh. Semua tersusun sederhana, tapi bagi Samsul, terlihat seperti pintu keluar dari tekanan yang membuatnya sesak.

Tangannya gemetar. Ia tahu ini salah. Tapi nafsu kecil yang menyerupai bisikan menelan seluruh suaranya yang lain.

Ia mengambil selembar dua puluh ribu—hanya satu, hanya sedikit—lalu menutup dompet itu kembali. Tangan lain merapikan baju-baju seperti semula. Seolah tidak ada jejak. Seolah dia cuma lewat.

Namun begitu loker tertutup, ada sesuatu yang berubah di dalam dirinya. Bukan rasa bersalah, melainkan dorongan aneh yang membuat detaknya justru berdebar… nikmat.


***


Beberapa hari berikutnya berjalan seperti potongan-potongan adegan yang berulang. Samsul seperti terjerat dalam siklus yang makin sulit dihentikan.

Ia menghabiskan sore dan malam di warnet, tenggelam dalam dunia yang memberi kemenangan instan, menenggelamkan rasa sepi dan tekanan pondok.

Lalu kembali ke kamar.

Membuka loker.

Mencuri uang.

Kadang dapat, kadang tidak. Tapi setiap kali ia menemukan selembar uang—dua puluh ribu, sepuluh ribu, bahkan recehan—ada getaran aneh yang merayap di tubuhnya. Seperti candu yang baru ia kenal. Setiap pencarian menjadi tantangan. Setiap penemuan menjadi kemenangan. Dan setiap keberhasilan menutupi jejak membuatnya merasa… tak terkendali.

Sementara itu, di sudut ruangan lain, Randu kadang terlihat mengobrak-abrik lokernya dengan cemas. Aji memasang raut curiga. Yazid mulai memperketat barang-barangnya. Tapi tidak ada yang cukup berani mengucapkan tuduhan itu secara terang-terangan, sebelum ada tindakan yang jelas dari para pengurus dan pengasuh pondok pesantren.

Lihat selengkapnya