Mengejar Dosa

Rifin Raditya
Chapter #10

Mencari Tangan Pendosa

Kolam ikan di belakang pondok tampak muram di bawah cahaya lampu yang redup. Permukaan air bergerak pelan, seolah ikut menahan napas bersama Randu yang duduk memeluk lutut di tepiannya. Ia masih memegangi ponselnya, layar yang remang itu menyorot mata Randu yang sembap.

Di ujung telepon, suara ayahnya terdengar lelah, jauh, tetapi hangat seperti biasa.

“Lho? Kemarin kan Ayah baru kirim. Cepet banget abisnya.”

Randu mengatup bibir. Ada getaran di tenggorokannya—campuran malu, takut, dan rasa bersalah yang sulit dijelaskan. Ia sudah menyimpan kebingungan itu selama berhari-hari. Uang sakunya hilang… lagi. Pertama sekali ia berpikir mungkin ia yang ceroboh, tapi setelah dua, tiga, empat kali hilang, ia merasa seperti diintai sesuatu yang tak terlihat.

“Nggak tahu, Yah… kayak ilang terus,” katanya lirih. “Mungkin… ada yang ngambil…”

Begitu kata itu keluar, dadanya serasa ditindih batu besar. Randu bukan pembohong. Ia tidak terbiasa menuduh siapa pun. Tapi apa lagi yang bisa ia lakukan ketika malam-malam ia menghitung uangnya, dan jumlah nominalnya selalu kurang dari yang seharusnya?

“Tanya ke pembina sudah?” tanya ayahnya.

“Belum… takut dibilang ngada-ngada.”

Ayahnya menghela napas panjang. Randu bisa membayangkan wajah ayahnya: kerutan di keningnya, tangan yang lelah menghitung sisa uang untuk keluarga. Ia merasa bersalah.

“Ya udah… nanti Ayah transfer lagi,” suara ayahnya melunak. “Tapi Ayah juga mau ngomong ke Bu Nyai. Nggak bisa dibiarkan begini terus.”

Randu mengangguk. “Makasih, Yah…”

Telepon berakhir. Randu menurunkan ponsel perlahan, menatap kolam yang gelap seolah menunggu jawaban atas segala keresahannya. Air matanya kembali turun, lebih pelan dari yang sebelumnya.

Baru beberapa minggu ia tinggal di pondok ini. Ia datang membawa niat baik, membawa semangat untuk belajar, membawa harapan sederhana: punya tempat baru yang bisa ia sebut rumah kedua. Dan untuk beberapa hari, ia merasa harapan itu bukan mustahil. Beberapa santri menyapanya, suasana terasa hangat, dan ia mulai percaya bahwa ia bisa menyesuaikan diri.

Namun semuanya mulai retak ketika ia sadar ada sesuatu yang hilang—bukan sekali, bukan dua kali, tapi berulang. Seseorang, entah siapa, telah mengambil sesuatu darinya. Dan yang lenyap bukan hanya uang saku yang dikirim dengan susah payah oleh ayahnya. Yang paling terasa hilang justru rasa aman, rasa percaya bahwa tempat ini adalah tempat yang ramah.


***


Aji dan Yazid berjalan pulang dari sekolah. Seragam mereka sudah kusut, penuh noda abu-abu dari debu jalanan. Di depan mereka, Samsul berjalan cepat menuju warnet pinggir jalan.

Aji langsung menghentikan langkahnya. “Uangmu udah dibalikin belum sama Samsul?” tanyanya.

“Belum,” jawab Yazid tanpa menatap.

Samsul menghilang masuk ke warnet.

Aji mendecak. “Itu anak aneh. Ngaku nggak punya uang, tapi tiap malam nongkrong di warnet.”

Yazid memicingkan mata, seperti mencoba mengingat sesuatu. “Eh iya… kemarin juga ketemu dia keluar dari warnet waktu kita beli nasgor.”

Mereka berdua mulai mendekati warnet. Aji mengintip lewat kaca, menempelkan kening ke dinding yang dingin.

Di dalam, Samsul tenggelam dalam dunia lain. Cahaya monitor menerangi wajahnya yang serius. Jemarinya bergerak gesit di atas keyboard seperti tak kenal lelah. Dunia di luar layar tidak ada baginya.

Aji menatap ke Yazid. “Kamu pernah kehilangan uang?”

“Dua hari lalu sih…” Yazid ragu sejenak. “Lima puluh ribu hilang dari lemari.”

“Aku kemarin juga hilang dua puluh ribu.” Aji mendekat, menurunkan suaranya. “Dan yang paling sering tuh si Randu. Hampir tiap hari uangnya hilang.”

“Serius?”

“Tanya aja. Tadi malam dia sampai nangis telepon bapaknya.” Aji melilitkan tas sekolahnya ke bahu. “Dan ada yang lebih parah.”

Lihat selengkapnya