Mengejar Dosa

Rifin Raditya
Chapter #11

Malam Penghakiman

Malam itu halaman pondok sedang lengang ketika Gus Afif dan Adam berdiri di tengahnya, menyapu pandangan ke arah para santri yang masih berkeliaran. Suara Gus Afif membelah udara malam, separuh teriak namun tetap terkontrol, “Ayo semuanya ke kamar sekarang! Ini penting. Cepat, jangan ada yang ketinggalan!”

Para santri terhenyak, saling pandang, lalu bergegas masuk. Ada yang cemas, ada yang bingung, ada yang wajahnya langsung pucat.

Adam segera memeriksa kamar. Dari balik pintu, ia melirik satu per satu. “Siapa yang belum ada?”

Aji menjawab lirih, “Samsul belum kelihatan.”

Adam kembali ke halaman. “Samsul belum masuk.”

“Tungguin. Dia harus ikut,” ujar Gus Afif.

Dan seolah dipanggil oleh nasib buruknya sendiri. Dari arah gerbang, Samsul muncul dengan langkah pelan. Ia tertegun melihat dua sosok itu berdiri menunggunya, mata mereka tajam seperti buas yang bersiap mengunci mangsa.

“Dari mana aja kamu?” suara Gus Afif terdengar dingin.

Samsul menelan ludah. “Dari… warung, Gus.”

“Temen-temenmu udah nunggu. Masuk. Sekarang!” Suara itu menggelegar di telinga Samsul.

Samsul menunduk, napasnya mulai tak beraturan.

Saat ia melangkah masuk ke kamar santri, udara seketika menebal. Ruangan itu terasa mengecil, seolah dinding-dindingnya merapat mendadak. Puluhan pasang mata menatap padanya—diam, tajam, dan tak memberi ruang bernapas. Para santri duduk melingkar di sepanjang tepian kamar, calon saksi-saksi bisu yang menunggu jatuhnya vonis. Di antara mereka, siapa pun yang mengaku akan langsung dicap sebagai curut, pengkhianat paling hina di pondok ini.

Samsul duduk di pojok, berharap bisa menghilang. Tapi detik berikutnya, suara langkah Adam menggema, ia duduk di tengah ruangan, diam namun memancarkan tekanan mematikan. Lalu pintu kembali terbuka. Gus Afif masuk sambil membawa rotan panjang di tangannya. Wajahnya dingin, tapi rahangnya mengeras menahan sesuatu yang jauh lebih panas dari amarah—hasrat untuk menghabisi pelaku yang mencuri ponselnya.

“Kalian tahu kenapa kalian saya kumpulkan di sini?” ujar Gus Afif.

Hening. Tidak ada yang berani menjawab.

“Pondok kita lagi nggak baik-baik saja,” lanjutnya, suaranya makin naik. “Ada curut di sini!”

Samsul menunduk semakin dalam, rasanya ingin menyelam ke dalam bayangannya sendiri. Jari-jarinya bergerak gelisah, seperti mencari celah untuk bersembunyi di tempat sekecil apa pun yang bisa menyelamatkannya, meski ia tahu itu mustahil ada.

Gus Afif menatap mereka satu per satu sebelum berteriak, “Kemarin malam, Bapak udah kasih kesempatan buat ngaku. Tapi nggak ada yang mau ngaku!”

Ruangan terasa mengecil, napas para santri tertahan. Randu mulai menangis di pelukan Yazid.

Gus Afif mengangkat rotan di tangannya, suaranya merendah namun jauh lebih menekan. “Sekarang, saya kasih kesempatan terakhir. Sekarang juga.”

Ia mengetukkan rotan itu ke telapak tangannya. “Kalau tetap nggak ada yang ngaku, rotan ini bisa kena siapa saja.”

Hening. Tidak ada jawaban lagi.

Ketika Gus Afif kembali berteriak, intensitas ruangan meningkat tajam. “Kalau nggak ada yang mau ngaku, sampai subuh kalian nggak tidur!”

Adam membuka suara, menggedor lantai keras hingga seluruh ruangan terkejut. “NGAKU NGGAK!!”

Rotan di tangan Gus Afif menyapu udara, menghantam lantai pelan-pelan, ritmis, seperti hitungan mundur menuju hukuman.

Hening pecah ketika Gus Afif berkata, “Saya sama Adam sudah curiga sama satu anak.” Lalu matanya berbelok, langsung menuju Samsul—dan seluruh kepala di kamar itu mengikuti. "Samsul?" panggilnya.

Samsul mengangkat wajah perlahan, matanya basah, badannya gemetar. “Nggih, Gus?” gumamnya kecil.

“Mau ngaku nggak?” tanya Gus Afif, mendekat.

“Bukan saya…,”

Gus Afif berlari ke arah Samsul. Dalam sekejap menghantamkan rotannya ke dinding, keras—

BRAK!

Samsul terlonjak, tubuhnya mengejang. Dalam detik berikutnya, kerah bajunya ditarik paksa. Wajah mereka hampir bersentuhan. Nafas Gus Afif panas di pipinya. “Mau ngaku nggak!?” teriaknya.

Suara Samsul pecah, “B-bukan, Gus…” mimik wajahnya terlihat sangat ketakutan.

Adam tiba-tiba maju, mencengkeram leher baju Samsul dan menyeretnya seperti boneka rusak. “NGAKU NGGAK!? KAMU KIRA INI MAINAN!?”

Lihat selengkapnya