Rumah kecil itu berdiri sendirian di tengah kebun, agak jauh dari kerumunan rumah warga perkampungan di pinggiran kota kecil. Dinding-dinding kayunya sudah mulai kusam, beberapa papan mengembang karena terlalu sering kehujanan. Atap sengnya menahan panas yang menyengat di siang hari dan dingin yang menusuk di malam hari. Di kiri dan belakang rumah, tanaman jagung milik tetangga tumbuh rapat, membuat rumah itu seolah terhimpit di antara barisan tanaman yang semakin tinggi dari hari ke hari.
Setiap sore, angin spoi-spoi berhembus melalui kebun, membuat daun-daun jagung bergesekan, menghasilkan suara yang terdengar hampir setiap jam. Bagi keluarga penghuni rumah kecil itu, suara tersebut sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, seperti ritme waktu yang menenangkan.
Agus, lelaki berusia tiga puluh lima tahun, adalah penghuninya sekaligus kepala keluarga. Hidupnya sejak lahir sampai menikah selalu dirundung kemiskinan; ibunya dulu adalah tukang cuci, ayahnya tidak punya pekerjaan tetap. Bisa lulus SMK saja bagi keluarga Agus sudah dianggap keberhasilan yang patut dirayakan. Namun setelah itu, hidup tidak lantas menjadi lebih mudah. Agus bekerja berpindah-pindah—di gudang, di proyek bangunan, di kebun orang—hingga akhirnya ia mulai berjualan somay keliling. Bukan pekerjaan impian, tapi pekerjaan yang cukup untuk membuat dapur tetap mengepul, meski jumlah uang yang dibawa pulang tak pernah banyak.
Dini, istrinya Agus, memiliki masa lalu yang sangat berbeda. Ia pernah menjadi atlet lempar lembing yang cukup dikenal. Pernah berdiri di podium SEA Games, membawa pulang medali perunggu, dan sempat diwawancarai di televisi. Namun kehidupan atlet tidak selalu panjang. Setelah cedera bahu yang tak kunjung sembuh, kariernya berhenti begitu saja. Pemerintah yang dulu mengangkat namanya pun perlahan tidak lagi memberi perhatian. Dini akhirnya kembali ke kampung halamannya, di pinggiran kota kecil itu, menikah dengan Agus, dan menjalani hidup sederhana sebagai ibu rumah tangga.
Kadang, Dini teringat masa-masa latihan dan pertandingan itu. Tapi ia jarang membicarakannya; kenangan itu terasa manis sekaligus menyakitkan, karena hidupnya sekarang begitu berbeda. Semua perjuangan untuk mengangkat nama negara kini seolah tak berarti. Ia memilih menerima kenyataan—tinggal di rumah kayu di tengah kebun, merawat keluarga kecilnya, dan berharap hidup mereka tetap berjalan, meski perlahan.
Agus juga tidak pernah mengeluh, meski tekanan hidup terlihat jelas dari wajahnya yang semakin keras dan lelah. Setiap hari ia mendorong gerobak somay dari pagi hingga menjelang magrib, berharap ada cukup pembeli untuk menutupi kebutuhan harian. Ia tahu anaknya, Cinta, membutuhkan banyak hal untuk sekolah, dan ia tahu Dini juga butuh perhatian lebih. Tapi kemampuan Agus terbatas, dan ia hanya berusaha sebaik mungkin.
Rumah itu memang kecil dan sunyi, jauh dari fasilitas dan jauh dari bantuan apa pun. Tapi di situlah Agus dan Dini menjalani hari-hari mereka—dengan beban masing-masing, dengan harapan kecil yang mereka jaga, dan dengan tekad untuk tetap bertahan meskipun keadaan sering kali tidak berpihak.
***
Agus mendorong gerobak somaynya pelan-pelan menuju depan gerbang sekolah. Asap tipis naik dari kukusan, membawa aroma gurih yang biasanya menarik anak-anak dan guru. Keringat menempel di pelipisnya, tapi ia tetap berdiri tegak, mencoba terlihat ramah walaupun tubuhnya lelah oleh kerja sejak pagi.
Ponsel jadul di sakunya bergetar. Ia mengusap tangannya pada celemek, lalu mengangkatnya.
“Iya kenapa?” tanyanya, menahan ponsel itu dengan bahu sambil menyendok kuah kacang ke dalam mangkuk plastik seorang pembeli.
Suara Dini terdengar dari seberang, agak berisik karena speaker ponselnya nyaris rusak.
“Ini lo… gurunya Cinta ngomong terus. Anak sekolah zaman sekarang butuh hp android.”
Agus menahan napas sebentar. Ia tahu percakapan ini cepat atau lambat akan muncul lagi.
“Iya sabar. Nanti segera Mas belikan.”
“Segera-segera! Ya kapan?” suara Dini meninggi, bukan marah, hanya cemas.
“Segera. Mas janji.”
Belum sempat ia memasukkan ponsel kembali ke saku, dua anak laki-laki berseragam menghampiri—langganan kecil yang menemuinya hampir setiap hari sejak ia mulai mendorong gerobak somay itu, selalu dengan uang yang sama di tangan.
“Lima ribu aja, Kang,” kata salah satu anak itu, menyerahkan uang kertas lecek.
Agus tersenyum lelah. “Kamu juga lima ribu?” tanyanya pada temannya.
Anak itu mengangguk cepat.
Agus mengangguk pelan dan mulai menyiapkan pesanan mereka, sementara suara Dini masih terngiang. Tentang Cinta. Tentang handphone. Tentang kenyataan yang tak bisa ia abaikan.
***
Malam turun pelan di atas rumah kecil di tengah kebun itu. Pintu terbuka perlahan. Agus masuk membawa ember plastik berisi sisa bahan dagang dan peralatan. Bajunya kusut, wajahnya lelah, tetapi senyum tetap ia paksa setiap kali tatapannya bertemu dengan wajah putrinya.