Mengejar Dosa

Rifin Raditya
Chapter #13

Monster dalam Diri Seorang Saleh

Setelah mencari banyak informasi soal penjual somay yang membeli ponsel milik Gus Afif, langkah lelaki itu akhirnya membawanya ke sebuah sekolah negeri di tepi kota. Sore itu gerbang sekolah dipenuhi gelombang siswa-siswi yang tumpah keluar setelah jam pulang. Suara riuh mereka bercampur dengan teriakan para pedagang kaki lima yang menawarkan dagangan di sepanjang trotoar.

Di antara para pedagang itu, berdirilah Agus, sibuk meracik somay untuk para pembeli. Uap panas mengepul dari panci besar di gerobaknya, membawa aroma gurih yang terbawa angin sore. Tangan Agus cekatan, wajahnya tenang, dan ia terlihat akrab dengan para siswa yang mampir.

Beberapa meter dari sana, Gus Afif berdiri di balik tiang listrik, setengah wajahnya tertutup masker. Ia diam, memerhatikan, matanya tajam mengikuti setiap gerakan Agus. Di balik tatapan itu, tersimpan kecemasan yang berusaha ia tekan dalam-dalam.

Satu per satu pelanggan pergi. Ketika lapak mulai sepi, Gus Afif melangkah pelan menuju gerobak somay itu. Sendal jepitnya berderap lirih di trotoar. Agus menoleh ketika bayangan seseorang jatuh di hadapannya. Detik itu, mereka saling menatap.

“10 ribu, Kang,” ucap Gus Afif.

“Siap,” jawab Agus, mengambil garpu sambil memindahkan potongan somay ke plastik.

“Ramai ya kalau sore gini,” kata Gus Afif mencoba tampak santai.

“Iya, soalnya anak-anak kan pada pulang. Biasanya jajan dulu. Pakai saus nggak, Mas?”

“Pakai.”

Agus memeras botol saus dan menyerahkan pesanan itu. Uang berganti tangan. Lalu, Gus Afif membuka percakapan lain.

“Ada HP yang mau dijual nggak, Kang? Saya lagi nyari HP merek Grooss nih. Udah nyari ke sana-sini nggak nemu.”

Agus tertegun sesaat. “Gimana?”

“Jual HP nggak merek Grooss? Saya lagi nyari nih.”

“Wah, saya nggak ngerti soal HP. Nggak pernah jualan HP.”

“Kalau ada, langsung saya bayarin. 800 ribu.”

Agus tersenyum kecil. “Ada banyak konter, Mas. Coba cari aja di situ.”

“Udah nyari ke sana-sini. Nggak nemu.”

“Oh gitu.”

“Kalau situ ada, langsung saya bayarin nih.”

Agus terkekeh. “Sini mah bukan penjual HP, tapi penjual somay. Ini satu panci kalau mau dibayarin 800 ribu sih nggak papa.”

Nada Agus terdengar menjengkelkan di telinga Gus Afif. Kecewa dan marah, ia akhirnya melangkah pergi. Usaha halusnya gagal total. Meski sudah ia pancing dengan pertanyaan, bahkan ditawarkan 800 ribu, Agus tetap bergeming, tak mau melepaskan ponsel yang baru ia beli beberapa hari lalu.

Di balik masker, rahang Gus Afif mengeras. Jalan satu-satunya telah buntu. Namun rahasia gelap itu masih berada di tangan orang yang salah, Agus. Cepat atau lambat, ia harus menemukan cara lain untuk merebutnya kembali.

Lihat selengkapnya