Mengejar Dosa

Rifin Raditya
Chapter #14

Malaikat Maut Menjemput

Siang itu, langit begitu terik. Agus berdiri menyandar di tiang gerbang sekolah, ujung rokoknya menyala kecil dari korek gas. Di dekatnya, seorang tukang cireng berusia empat puluh tahun duduk di samping gerobaknya yang mulai kosong, matanya menatap siaran ulang debat capres di ponselnya.

Agus melirik sebentar, iseng. “Apaan tuh, nonton serius amat?”

Tukang cireng mengangkat bahu, antusias. “Debat capres. Tadi Nasrulloh bilang mau memasukkan nilai-nilai Islam ke UUD. Tapi si Jaris langsung nyanggah. Nyerangnya rapi, pakai data.”

Agus menghembuskan asap rokok, getir. “Heh… siapa pun presidennya, kita mah tetap dagang cireng, ngojek, nyari utang. Nggak bakal ada yang bener-bener peduli.”

Tukang cireng mengangkat bahu lagi. “Iya juga sih. Tapi kalau kita cuek, yang ngatur hidup kita ntar malah yang sembarangan.”

Agus tersenyum sinis, pelan. “Dipilih atau enggak, yang duduk di atas tetap kenyang. Yang di bawah? Ya gini-gini aja.”

Tukang cireng tersenyum kecut. “Hidup rakyat jelata, Bro…”

Mereka terdiam, hanya suara debat dari ponsel yang terus mengalun, diselingi sorak-sorai dari studio debat.


***


Sore itu, halaman rumah Agus sunyi. Hanya suara tonggeret yang meraung panjang di sela-sela senyap. Matahari mulai condong ke barat, menyisakan cahaya hangat yang menyorot dedaunan.

Di balik pepohonan di tepi halaman, Gus Afif mondar-mandir, tubuhnya menunduk, langkahnya ringan tapi tegang. Setiap gerakannya terlihat hati-hati, sesekali ia berhenti, menempel di batang pohon atau menunduk di balik pagar, matanya mengamati Dini yang sedang mengambil jemuran terakhir, dan Cinta yang bersandar di dinding, asyik dengan ponselnya. Napasnya berat, tangan kanannya terus mengepal sesuatu di saku kemeja, permen lolipop.

Gus Afif menunggu. Kedua tangannya tersembunyi di balik sarung tangan tipis warna gelap yang ia kenakan sejak tadi—sarung tangan yang sengaja ia bawa untuk satu alasan, tidak meninggalkan sidik jari di mana pun. Kain sarung tangan itu menempel ketat, memastikan tak ada permukaan kulit yang terekspos.

Masker menutupi sebagian besar wajahnya, sementara kemeja panjang yang ia kenakan menutupi lengan hingga pergelangan, membuat dirinya nyaris tanpa identitas.

Di saku kemeja, tangan kanannya meremas sesuatu—permen lolipop yang juga sudah ia bungkus dengan tisu, agar tak meninggalkan sidik di plastiknya. Ia berhati-hati, memastikan apa pun yang ia bawa tidak langsung tersentuh kulit.

Napasnya teratur namun berat.

Ia menunggu.

Mencari celah.

Lihat selengkapnya