Mengejar Dosa

Rifin Raditya
Chapter #15

Dosa-Dosa yang Gagal Dikejar

Suara azan Magrib melayang samar dari kejauhan, terdengar suci namun terasa seperti ironi pahit di tengah apa yang baru saja terjadi. Di tepi sungai yang berlumpur—sungai yang letaknya hanya beberapa meter dari kebun jagung tempat ia membunuh Dini—Gus Afif menyeret tubuh perempuan itu dengan napas kasar. Tanah lengket menempel di kakinya, dan kemeja putihnya berlumuran darah, basah menempel di kulitnya.

Sebelum menuruni tepian sungai, ia berhenti sebentar. Di tangannya, yang masih terbungkus lapisan sarung tangan, ia menggenggam batu besar yang barusan digunakan untuk menghabisi Dini. Ujung-ujungnya penuh noda darah, sebagian masih menetes. Tanpa ragu, ia mengayunkannya jauh ke tengah sungai.

BRAK!

Batu itu jatuh menghantam permukaan air, lalu tenggelam, menghilang dalam arus yang keruh dan dalam. Ombak kecil menyebar sebentar, lalu kembali tenang, seolah tidak pernah terjadi apa-apa.

Gus Afif menarik napas panjang. Ia berhenti sejenak—tegap, waspada—matanya menyisir gelap di kiri dan kanan, memastikan tak ada satu pun bayangan manusia yang mengintai. Di atas sebuah batu datar, ia meletakkan ponsel rampasannya, layarnya memantulkan cahaya pucat seperti saksi bisu dari apa yang telah terjadi.

Ia kembali membungkuk, menggenggam pergelangan Dini yang sudah tak bernyawa. Tarikannya lamban namun mantap, menyeret tubuh itu menuju aliran sungai yang deras. Air yang dinginnya menusuk betis membuatnya meringis singkat, tapi langkahnya tak goyah.

Ketika kaki menyentuh arus yang lebih dalam, ia melepaskan genggaman. Tubuh Dini terayun oleh air, terbawa perlahan, sebelum akhirnya lenyap ditelan oleh gelapnya riak arus sungai.

Malang. Sungguh perempuan yang malang. Tak berdosa, namun harus memikul kebiadaban seseorang yang menyimpan iblis di balik wajah suci.

Gus Afif kembali ke pinggir sungai. Ia melepas kemejanya yang basah, menggumpal oleh darah yang mulai mengering. Tangannya gemetar saat ia meraih ponsel dan menekan nomor yang sudah ia hafal di luar kepala.

“Halo?” suara Adam terdengar dari seberang.

“Ini saya…” Gus Afif menelan ludah, suaranya terengah namun dingin. “Gus Afif.”

“Iya, Gus. Ada apa?”

“Jemput saya,” katanya. Hening singkat. “Dan bawa pakaian bersih.”

Lihat selengkapnya