Angin siang berembus lembut ketika Gus Afif melangkah menuju konter kecil di dekat kampus. Dari luar, ia tampak seperti pembeli biasa—kemejanya casual, masker menutupi sebagian wajahnya—namun langkahnya terlalu teratur untuk sekadar mampir. Di balik ketenangan itu, dadanya berdegup cepat, seolah kecemasan menempel di tubuhnya seperti bayangan yang tak bisa ia usir.
Konter itu adalah tujuan berikutnya, lokasi yang harus ia tangani demi menjaga nama baiknya. Setiap langkah yang ia ambil terasa seperti memasuki wilayah yang semakin gelap.
Di pintu konter, seorang penjaga menyambut. “Mau cari HP apa, Mas?”
Gus Afif tersenyum tipis. “Samsung yang dua jutaan ada? Mau lihat-lihat saja.”
Ia masuk, pura-pura mencermati etalase, padahal matanya sibuk bekerja, memindai setiap sudut ruangan dengan kecepatan dan ketepatan yang seperti dilatih.
CCTV 1: menempel di pojok atas konter, mengarah ke kasir.
CCTV 2: kecil, terpasang di luar menghadap trotoar.
Ia mengangguk pelan, memetakan sudut buta dalam hitungan detik.
“Sini, Mas.” Penjaga mengangkat kotak HP. “Speknya lumayan.”
Gus Afif mengangguk, tapi pikirannya jauh dari spek. Ia melirik ke bawah meja kasir, ada CPU dengan kabel semrawut, kemungkinan besar tempat file HP direstorasi.
Jika HP miliknya pernah diotak-atik di sini, file itu mungkin masih tersimpan. Begitu asumsi Gus Afif.
Ia menahan napas. “RAM-nya berapa?”
“Empat giga, Mas.”
“Saya mikir dulu,” ujarnya sambil tersenyum. “Besok mungkin saya balik.”
Ia keluar sambil menahan diri untuk tidak menoleh lagi ke sudut-sudut kamera. Begitu berada di luar, ia merasakan dingin menjalar di tengkuknya.
Kalau file itu disalin… kalau penjaga melihat… kalau ada yang menyebar…
Kepalanya dipenuhi skenario buruk yang membunuhnya pelan-pelan. Ia berjalan jauh sebelum akhirnya napasnya benar-benar terlepas.
***
Malamnya.
Hujan gerimis turun tipis. Jalanan lengang. Lampu toko sudah padam.
Gus Afif berdiri di antara bayangan, mengenakan hoodie hitam, masker, dan sarung tangan tipis, wajahnya sepenuhnya tertutup. Ia berhenti di tempat yang tadi siang ia perhatikan, juga sudah memastikan satu hal penting, penjaga konter yang sejak tadi tampak sibuk masih belum pulang.
Cahaya redup yang merembes dari celah rolling door memantul, cukup untuk menandakan ada seseorang yang masih bergerak di dalam. Entah sedang menghitung stok, menutup transaksi hari itu, atau tanpa sadar menyentuh file yang, di kepala Gus Afif, bisa saja isinya menyimpan celah menuju kehancurannya. Skenario-skenario liar itu terus menumpuk, membayang-bayangi pikirannya, meski semuanya hanya bertumpu pada dugaan yang semakin menggerogoti kewarasannya.
Ia memeriksa sekali lagi.