Mengejar Matahari

Tasya Maria
Chapter #3

Langkah Kedua: Kedatangan yang tak terduga

Tak peduli seberapa keras sebuah luka ditutupi, sakitnya akan selalu terasa. Bukan tentang apa yang terjadi saat luka itu tergores, tetapi trauma yang timbul setelahnya. Dina selalu terlihat baik-baik saja, bahkan dia tersenyum pada hal-hal kecil. Namun kenyataannya, lukanya masih terasa perih.

Dirinya yang sakit bersembunyi di balik topeng bahagia. Seperti saat ini, Dina bisa tertawa lepas saat seorang anak lelaki menunjukkan guyonan. Namun tidak ada yang sadar kalau dia menjaga jarak dari para lelaki. Ada tembok tak kasat mata, yang selalu Dina bangun saat dia harus berada diantara para pria.

Niat awalnya mereka akan mengerjakan tugas kelompok, tetapi hanya candaan yang terus terlontar, bukan membahas cara menyelesaikan soal. Akhirnya dia menutup bukunya, lalu menatap seorang gadis. “Kita bagi tugas aja ya. Nisa ngerjain nomor 3 dan 4,” kemudian dia menunjuk seorang cowok yang duduk di sebelah gadis tadi, “Gio nomor 5 dan 6,” jemarinya kembali menunjuk seorang pria yang duduk di sebelah Gio, “Krisna nomor 7 dan 8.”

“Nanti gue nomor 1 ama 2,” ujarnya, lalu menutup buku yang penuh dengan angka itu dan menyimpannya dalam tas. 

Terdengar suara klakson motor, lantas dia berdiri, lalu menyibakkan gorden yang menutupi kaca, sehingga terlihat seorang wanita dengan seragam khas ojek online tengah berhenti tepat di depan gerbang rumah.

“Kak Eya udah jemput, gue pulang duluan ya.” Dina menarik tasnya lalu berdiri dan meninggalkan ketiga orang itu.

“Gue juga pulang deh, mau bantuin emak,” seru Gio sambil mengambil tas yang ditaruh di sofa. “Tumben loh rajin,” ejek Nisa. Sementara Krisna tengah mengunyah kue sus yang dibuat mamanya Gita.

“Gue emang rajin kali, lo aja ya ngga tahu. Eh ni anak malah asik makan, lo mau jalan kaki?” tanya Gio pada Krisna.

“Ngga dong.” Tubuh gempal Krisna segera berdiri, namun sebelum berdiri pria itu mengambil beberapa potong kue di piring, “lumayan buat ganjel perut di jalan,” gumamnya.

Sontak Nisa tertawa melihat tingkah Krisna, sedangkan Gio hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkah teman satu kompleknya. “Makan aja yang lo pikirin,” ejek Nisa, tetapi sama sekali tak digubris pria itu. Karena sudah berpamitan Dina langsung beranjak ke halaman depan.

Eya, seorang mahasiswi yang juga berprofesi sebagai ojek online, sudah dianggap kakak oleh Dina. Bahkan hubungan dia dan Eya, lebih dekat dari hubungannya dengan Alena. Tidak tahu kenapa, lebih mudah bagi Dina untuk membangun hubungan yang dekat dengan orang asing dibanding dengan keluarga sendiri.

Setelah itu motor yang dikendarai Eya berhenti tepat di perempatan, saat lampu lalu lintas berganti menjadi merah, Dina menolehkan pandangan ke sekitar, beberapa pengendara tampak sebal dengan sengatan matahari yang mengenai wajah. Namun yang lainnya biasa saja, mungkin karena sudah terbiasa atau karena kaca helm yang sengaja diturunkan untuk menghalangi sengatan sang surya. Lalu arah pandangnya berhenti pada seorang anak kecil yang terus bertanya pada ayahnya. Beragam pertanyaan, yang membuat ayahnya kewalahan untuk menjawab. Seperti kenapa langit biru, kenapa pas mereka harus menghentikan motor saat lampu lalu lintas berganti menjadi merah, dan beragam pertanyaan lainnya. Dina menjadi gemas sendiri dengan tingkah polos bocah lelaki itu.

Kemudian secara tidak sengaja dia melihat ke arah seorang pria. Karena lampu telah berganti dengan hijau. Hanya sekilas, tetapi mampu membawa Dina untuk sepersekian detik ke dalam ingatan yang ingin dia kubur. 

“Din, dina?” tanya Eya, yang mampu mengalihkan kembali kesadarannya.

“Ah, iya, kenapa kak?” dia menormalkan ekspresinya, saat melihat Eya sesekali melirik ke kaca spion.

“Lo mau langsung mampir ke toko buku atau besok aja? Katanya mau beli novel yang baru terbit itu.”

“Ah iya, langsung ke toko buku aja ya kak. Gue denger novelnya laris banget, takutnya kalo pergi besok, novelnya udah keburu abis.”

“Okay, I see.”

Helm yang dia pakai segera dilepas dan diserahkan pada Eya, begitu dia sampai ke toko buku. “Tunggu bentar ya kak, janji ngga bakal lama.”

“Take it easy. Gue tunggu di sana ya.” Dia menunjuk parkiran motor yang berada tepat sebelah toko itu.

Lihat selengkapnya