Mengejar Matahari

Tasya Maria
Chapter #4

Langkah Ketiga: Bisakah dilupakan?

Berbagai tenda yang berisi beraneka makanan dan barang nampak dimata Dina. Di gerbang masuk, Vina dan Mega telah menunggu kedatangannya. Disamping mereka, berdiri seorang wanita berkacamata yang mengobrol sambil sesekali mengecek ponsel. Dina tebak dia adalah kakaknya Mega, sebab wajah mereka sangat mirip. Segera dia melangkah menghampiri mereka.

Senyuman senang nampak pada wajah Mega dan Vina. "Kak, ini Dina teman yang gue bilang mau diajak ke sini."

Wanita berkacamata itu tersenyum hangat sambil mengulurkan tangan, "Halo Dina, Gabriella ," Dina menyambut uluran tangan itu. "Halo kak," ujarnya sambil tersenyum malu.

"Makasih ya udah datang. Gue pergi dulu ya, ada yang mau diurusin. Kalian nikmatin acaranya ya." Dia berujar sambil tersenyum. Setelah itu meninggalkan mereka. Mega dan Vina segera mengajak Dina mencoba beberapa makanan di sana.

Voucher yang kemarin diberikan bernilai tiga puluh ribu rupiah. Voucher itu digunakan untuk mengklaim beberapa jajanan, seperti, cilok, kentang spiral, gorengan, dan pentol kuah. Mereka sengaja membeli banyak jajanan yang berbeda agar bisa saling mencicipi. Dina yang suka makan sangat menikmati pameran makanan. Setelah berburu kuliner, mereka duduk dikursi yang tersedia. Banyak hal yang mereka perbincangkan sambil menyantap jajanan yang dibeli.

Perbincangan tentang sekolah, kegiatan sehari-hari, teman-teman dan lingkungan yang baru menjadi topik pembuka percakapan. Saking banyaknya yang dibicarakan, Dina rasa cerita mereka bisa dibuatkan novel.

Seingatnya dia datang saat matahari masih bertengger, hingga kini matahari sudah tenggelam perbincangan mereka masih berlanjut. Semua baik-baik saja, hingga Vina memulai topik yang sangat tidak ingin Dina dengar.

"Eh Din, lo denger kabar soal kak Andra ngga?"

Raut muka Dina mulai pucat pasi saat nama itu disebutkan. "Gue ngga mau bahas soal dia. Kita bisa bahas yang lain ngga?"

"Ya udah deh. Tapi gue denger-denger sih dia lagi persiapan sekolah diluar negeri," ujar Vina.

"Enak banget... anak orang kaya mah bebas. Kalo kita tuh harus beasiswa dulu baru bisa kuliah diluar negeri," komentar Mega.

Dina hanya bisa terdiam sambil menyedot es tehnya. "Din, kok muka loh bete gitu sih? Jangan baperan dong. Ngga bahas lagi deh," ujar Vina.

Dia hanya tersenyum dan kembali mendengarkan ocehan kedua temannya yang telah mengubah topik pembicaraan. Mengapa Tuhan menciptakan hatinya begitu rapuh? sehingga dia sangat mudah tersinggung dengan ucapan yang bahkan tidak menyinggung kejadian masa lalunya.

*******

"Ngga pa-pa kak, gue bisa pulang naik ojol. Kakak fokus aja ama tugas kakak." Senyum tipis tampak setelah Dina mengakhiri panggilan telepon.

Pandangannya beralih pada pepohonan yang seolah memanggil namanya. Kakinya melangkah sendiri pada taman yang berada tepat didepan pameran tadi. Dilihatnya anak-anak yang tampak sangat asik berlarian. Tanpa disadari bibirnya tertarik, saat tawa tampak dari wajah lugu mereka.

Karena terlalu fokus dengan anak-anak itu, Dina sampai tidak melihat kedepan, sehingga badannya bertubrukan dengan seseorang. "Maaf, gue ngga sengaja," ujarnya lembut.

"Ngga pa-pa," ucap pria didepannya.

Kecerobohannya benar-benar tidak bisa ditolerir. Bagaimana bisa badan pria sebesar ini tidak nampak oleh matanya yang besar? Untung saja orang didepannya tidak mempermasalahkan hal itu. Dari arah berlawanan seorang gadis dengan rambut yang dicepol muncul dengan headphone yang menggantung dilehernya. Rasanya Dina pernah melihat wajah gadis itu disuatu tempat, tetapi dia lupa dimana.

"Ternyata disini. Gue cariin juga."

"Lo Dina kan? Anak kelas 10 B SMA Harapan." Dia terkejut saat gadis itu tahu nama bahkan sampai sekolahnya.

"Benar, tahu dari mana?" tanyanya dengan satu alis yang terangkat.

Gadis itu tersenyum lebar. "Gue Eva, kita sekelas loh" Pantas saja wajah gadis itu tampak familiar. batin Dina.

"Sorry, ngga ngenalin, gue belum terlalu hafal nama teman-teman sekelas kita," ujarnya ragu-ragu.

Lihat selengkapnya