Puluhan kaki melangkah menuju gerbang sekolah Pelita Bangsa. Atasan putih dan bawahan abu-abu tampak begitu serasi memenuhi halaman sekolah. Pancaran mata Dina menunjukan keraguan dan tidak nyaman dengan orang-orang yang asing baginya. Dia sengaja berjalan di belakang kakaknya, seolah meminta perlindungan dari orang-orang asing itu. Namun Alena menyadari hal itu, lalu berbalik dan menatap tidak suka pada adiknya.
“Ngapain ikutin gue? Udah sana gabung sama teman-teman lo.” Dina hanya terdiam dan menatap punggung Alena yang mulai menjauh.
Dia tidak mengerti apa kakaknya lupa atau sengaja saat mengatakan itu. Ini hari pertamanya di sekolah dan kemarin dia tidak mengikuti masa orientasi karena sakit, jadi tidak ada yang dia kenal. Dia merasa seperti terhilang diantara kerumunan. Dina hanya mematung sambil menatap gedung dan orang yang berlalu lalang.
“Hei, ngapain sendirian di sini?” Dina menatap gadis berambut sepunggung itu dengan tubuh yang sedikit gempal. Dia hanya memberi senyum canggung pada gadis itu dan seseorang disampingnya.
“Pasti ngga ikut MPLS ya?” timpal teman gadis bertubuh gempal itu. Sekali lagi Dina tidak berujar dan hanya tersenyum sambil mengangguk.
“Kenalin, gue Enjel dan ini Gita,” ujar gadis bertubuh gempal itu.
“Nama gue Dina.”
“Bagi seluruh siswa baru bisa melihat kelas kalian di papan informasi.” Suara dari speaker itu menggema di antara gedung sekolah.
“Udah pengumuman kelas tuh. Ayo Din kita lihat, kita ditempatin di kelas mana,” ujar Gita.
“Gue harap kita sekelas,” ucap Tedina.
Mereka berjalan menuju papan informasi dan terlihat banyak siswa yang berdiri di depan papan tersebut. Hal itu tidak membuat Enjel dan Gita menunggu, sehinga Dina terpaksa mengikuti langkah mereka. Namun mendadak seorang anak lelaki terdorong ke arahnya, sontak Dina segera menghindar. Setelah itu jantungnya berdetak dua kali lebih cepat dan tangannya menjadi gemetar. Kakinya bergerak perlahan ke belakang, saat udara sekitar terasa begitu sesak.
Dia mengepalkan kedua tangan untuk menghentikan rasa gemetar. Kemudian menarik napas untuk mengisi paru-parunya dengan oksigen. Setelah napasnya menjadi teratur, Dina kembali mendekati Enjel yang telah berada dipapan informasi.
Enjel mengalihkan pandangan dari papan, saat Dina datang. “Nama lengkap lo siapa Din, biar gue liatin,” tawar Enjel. “Tedina Kayla Andarmeta,” ucap Dina.
Mata dan jari telunjuk Enjel menelisik dengan saksama ratusan nama dari daftar yang tertempel di sana. Kemudian jarinya berhenti pada satu nama.
“Ini dia.” Matanya masih menatap daftar itu. “Lo masuk kelas 7 C. Berarti bareng ama Gita dan sayangnya ... gue beda kelas ama kalian.” Dia menunjukan raut kecewa diakhir ucapannya.
“Kalo gitu gue ama Dina, ke kelas duluan. Lo bisa ke kelas sendiri ‘kan?” ada nada sindiran dalam ucapan Gita.
“Bisa banget.” Dengan sengaja Enjel menekankan kata terakhirnya.
Mereka berpisah dengan Enjel di sana, lalu menyusuri koridor. Langkah keduanya berhenti, saat melihat papan – yang berada di atas pintu sebelah kiri- yang bertuliskan kelas mereka. Keduanya pun masuk dan melihat sudah banyak siswa di dalamnya. Sehingga Gita dan Dina mendapat tempat duduk di barisan ke tiga. Setelah meletakkan tasnya ke belakang kursi, mata Dina mengitari seluruh kelas. Kebanyakan hanya melihat ponsel, tetapi ada beberapa orang yang berkelompok dan berbincang. Dilihat dari keakraban mereka, Dina yakin kalau mereka teman satu sekolah.
Ada seorang gadis yang menarik perhatiannya. Padahal dia tidak lebih dominan dari yang lain, tetapi Dina seolah merasakan aura yang membuat gadis itu menarik. Kalau tidak salah dengar, mereka memanggilnya Eva. Rambutnya digulung dengan asal dan menyisakan beberapa helai rambut. Namun cara berpakaiannya rapi seperti siswa pada umumnya.