Jiwanya melolong seakan-akan mencabik-cabik dirinya dari dalam. Sudah terhitung dalam bilangan minggu berlalu, sanubari dari dalam dirinya masih membara. Meski begitu ia masih meraba diri, benarkah lara atas kematian dari wanita yang telah melahirkannyalah yang tengah menguasainya?
Pantulan parasnya dari cermin terlihat muram termenung dengan pandangan kosong. Matanya masih sama sembabnya dengan waktu kemarin-kemarin setelah keberpindahan sang Mama ke alam lain. Sepersekian detik kemudian memalingkan muka karena perasaan jijik oleh parasnya sendiri yang sejak kecil selalu dipuja-puja kedua orangtuanya terutama sang Mama.
Benar-benar masih belum bisa dipastikannya emosi apa yang tengah membelenggunya, sementara ia menyadari mata-mata dari pekerjaan gelapnya terus membuntutinya seperti takut sekali dirinya akan berkhianat dari sejak cuti kematian sang Mama. Selama cuti itu, ia menetap beberapa hari di rumah kedua orangtuanya yang tersisa Papa, sebelum kemudian kembali ke apartemennya dengan hanya menggulung-gulung kabar di media sosial namun tidak benar-benar membaca atau menonton apa yang terpampang di layar ponselnya.
Hal yang sama dilakukannya saat ini setelah menghapus air mata yang tidak yakin dari dirinya yang berduka atas kematian terhadap wanita satu-satunya di rumah yang ditinggalkannya sejak menemukan pekerjaan resminya.
Seringkali kembali melamun, lalu kembali menaik-turunkan layar ponsel, begitu seterusnya. Sesekali berkelebat kenangan masa kecil, atau lebih tepatnya ia berusaha keras mencari momen terindah dengan mendiang sang Mama daripada mengedepankan geramnya atas insiden yang dialaminya tidak diteruskan ke pihak berwajib.
Sedikit kedua ujung bibirnya terangkat samar, teringat mendiang Mama yang selalu merayakan hari ulang tahunnya. Akan tetapi geram justru tetap tak tersembunyikan karena di antara tiga bersaudara hanya dirinya dengan ulang tahun yang kerap dirayakan. Bahkan di antara dirinya dan Abang serta adiknya, hanya dirinya yang lebih mendapat perhatian dan pujian karena paras rupawannya yang melebihi dua saudara kandungnya. Ada rasa luka tersirat dari dirinya mengumpamakan dirinya adalah sang Abang dan sang adik yang tidak mendapat kasih yang sama dari orang tua yang sama.
Sudah berkali-kali ia berpikir ingin meledakkan kegeramannya terhadap ketidakadilan Mama Papa, namun sesal di kemudian hari lebih besar menerornya. Namun bila bicara rasa sesal yang ditakutkannya, ia merasa ingin menertawakan diri sekeras-kerasnya karena kini secara diam-diam tengah menjadi pekerja dari dunia gelap untuk mewadahi perasaan kecewanya pada siapa pun terutama Mama Papa.
Tubuhnya yang tegap dengan bahu membidang itu lantas turun dari ranjang, langkahnya menapak menuju ke jendela yang tertutupi tirai kain. Satu tangannya menyibak, sementara pikirannya menebak-nebak dimanakah mata-mata dari organisasi gelap yang diikutinya. Ia tidak tahu pasti apakah sudah memasuki apartemen atau mengawasi dari luar. Dijembanya ponsel, menuju aplikasi perpesanan dan salah satu kontak dari dunia gelap yang diikutinya ia baca meski sebelumnya sudah ia baca.
"Hey, Daniel, meski lu sedang berduka, jangan lu kira lu tidak dalam pantauan."
Pemuda tampan bernama Daniel itu menyunggingkan sebelah bibir dengan sinis. Ia sendiri tidak yakin apakah tengah berduka, bersamaan perasaan lain dari dirinya mengejek orang-orang dari organisasi gelap yang diikutinya seperti sangat ketakutan di balik ancaman. Daniel lantas melangkah ke luar seraya menghubungi seorang lain. Langkah demi langkah menuju parkiran di lantai terbawah, hanya didengarnya nada sambung dari seberang panggilan keluar. Diulanginya lagi terus menerus menghubungi sampai memasuki mobilnya, sedikit pun tidak merasa kesal karena panggilan yang dilakukannya baru diterima pada percobaan yang ke sekian yang tidak dihitungnya.
"Apa mata-mata buat gua masih memantau gua?" tanya Daniel tanpa basa-basi.