Mengenyam Kelam

Gia Oro
Chapter #4

Relung Kelam

Balasan demi balasan berupa lemparan bogem di sebuah film bergenre action itu membuat wajah para pemainnya babak belur dan bernoda darah mengenai pakaian. Faraditha yang tengah menontonnya melalui ponsel kelihatan begitu serius namun lebih cenderung raut mukanya terlihat datar. Sementara di dalam kepalanya, ia tengah membayangkan dirinyalah yang tengah bertarung. Tidak bisa dipastikannya apakah ia memang menyukai film bergenre laga meski sudah menonton adegan pertarungan sejak kecil, namun lebih daripada itu dirasakannya dengan menonton tayangan genre demikian membuatnya 'lebih baik', bahkan jauh sebelum kemudian akhirnya sering disetelnya musik genre musik rock dan metal sebagai wadah geramnya.

Sudah ke sekian kali Faraditha berandai-andai bilamana orang-orang yang mengira dirinya pendiam ternyata bisa marah. Namun dirinya hanya bisa merasakan geram dan kecewa di 'belakang layar', rasa takut jikalau dirinya lebih menyakiti daripada orang yang telah menyakitinya, membuatnya bak tidak mampu menunjukkan perasaan yang dianggap negatif seperti marah. Hampir tidak pernah marah dan lebih sering menjadi patuh serta pendiam membuatnya dikira sebagai sosok penyabar dan tenang, terlebih dirinya adalah orang pertama yang berjilbab di antara para sepupu.

"Kakak kira Fara itu sosok yang tenang," begitu penilaian Safira yang kecewa, sepupu satu-satunya yang dijadikan target pembaca atas segala kegeraman yang diluapkan di media sosial perihal orang tua Safira yang memeras ayah ibu.

Apakah benar hanya karena dirinya yang pertama kali berjilbab di antara para sepupu, lantas dirinya dikira sebagai orang yang tidak akan pernah mengalami perasaan negatif? Sama sekali ia tidak bermaksud supaya dianggap sebagai sosok yang suci atau pun solehah tanpa cela, justru ia yang sangat mengharapkan Safira sebagai 'sang kakak' yang mengerti maksud luapan kegeraman--terlebih Safira pernah mengajaknya kabur dari rumah yang seharusnya sudah menunjukkan bagaimana watak sesungguhnya dari Bibi Mega dan suami di belakang keluarga besar.

Tiada teladan di keseharian sejak kecil dan kerap dikritik sampai hampir tidak pernah dihargai membuatnya lelah mengintropeksi diri terus menerus, dan butuh sosok yang bisa menerima dirinya saat baik dan buruk. Tapi nyatanya Faraditha dianggap mengecewakan bila sedang tidak baik-baik saja.

Apakah sebegitunya kah menjadi seorang gadis yang berjilbab? Sedikit pun tidak boleh salah? Dimanakah memangnya dirinya saat ini? Di surga kah? Bukankah di bumi? Dan, bukankah perempuan berjilbab juga manusia? Tempat salah dan dosa, bukan? Tidak, Faraditha, tidak bermaksud mencari pembelaan dengan menyatakan wajar manusia bersalah dan berdosa. Namun bagaimana bisa mengerti orang yang tidak baik-baik saja, bila dirinya yang tidak baik-baik saja disangkal? Pada beberapa kasus tertentu bisa membuat seseorang tidak mengerti memiliki empati bila ajaran tentang empati itu sendiri tidak ditanamkan terutama dari sejak kecil.

Selintas pikiran menepi di benak, Faradhita merasa mengerti kondisi para perempuan berjilbab yang kemudian menanggalkan jilbab karena ketidakmampuan mengemban cibiran orang-orang, meski tetap dikukuhkannya keyakinan bahkan ajaran bahwa tiada alasan untuk tidak berjilbab manakala memang sudah memasuki usia baligh.

Faradhita termenung, merasa tidak bisa lagi mengikuti film yang tengah berlangsung di ponselnya. Ia mematikan layar ponselnya dan merebahkannya di atas meja. Masih kelabu dirasakan, karena sudah dibuatnya media sosial baru, tapi unggahan dari media sosial sebelumnya yang sempat dijadikan luapan geram pada adiknya ayah yang memeras, masih berputar-putar dalam benak.

Seorang diri di ruang mengajar, menyadarkannya ketika suhu ruangan semakin terasa dingin. Tiba-tiba terdengar suara seperti mendesis, Faradhita terkejut seraya mengedarkan pandangan ke sekitar. Bukan pertama kali ia mendengar suara misterius itu di tempatnya mengajar bimbel saat ini, dan kali ini ke sekian hingga cukup sukses atensinya teralihkan. Ia semakin terkejut ketika pintu di ruang depan ada yang membuka dari luar, sudah pasti adalah manusia yang melakukannya.

"Kak? Kenapa?" tanya seorang gadis yang juga seorang pengajar, sama seperti Faradhita. Ia heran ketika memasuki ruang mengajar dan mendapati Faraditha seorang diri dengan wajah waspada.

Orang yang ditanya pun menyengir sambil menggeleng-geleng, namun sorot mata itu terlihat tidak meyakinkan. "Kirain murid, taunya kamu Jesslyn. Hehe..."

Jesslyn tidak bisa percaya begitu saja, ia lalu duduk sampai menabrak Faradhita saat Faradhita kembali akan melanjutkan tontonan melalui ponsel. "Kakak jangan bohong. Aku yakin kakak bukan seorang pembohong!"

Faradhita menoleh pada gadis dengan rambut berombak di sebelahnya itu. Sedikit terharu, karena baru beberapa bulan diterima untuk mengajar, Jesslyn yang lebih dulu sudah menjadi pengajar sebelum Faradhita ternyata bisa memahaminya. Padahal Faradhita sempat khawatir akan mengalami kesulitan berteman baik karena perbedaan agama, mengingat saat masa sekolah pernah ada yang mengejek dan mengajaknya berdebat setelah tidak puas dengan diskusi lintas agama yang disaksikan di internet. Hal yang nyaris sama dialami Jesslyn saat sekolah disindir sebagai satu-satunya bukan muslim di kelas oleh seorang guru—padahal terdapat dalil berupa tidak ada paksaan dalam memeluk agama Islam.

Lihat selengkapnya