Mengenyam Kelam

Gia Oro
Chapter #6

Benak Kelam

Pengiriman melalui rekening bank terlintas dalam benak, tetapi ia merasa lebih ingin memberikan secara langsung beberapa lembar dari total gajinya untuk membantu perekonomian ayah ibu. Setiap bulan setelah menerima hasil jerih payah bulanan, ditemuinya ayah ibu dan belakangan sudah tidak lagi menanyakan kabar adik-adiknya yang banyak kelakuan sampai memicu pertengkaran. Faraditha yang merasa tidak berdaya sebagai sulung yang ingin melerai justru mendapat bentakan yang lebih garang dari adik-adik, membuatnya menerima tawaran teman kuliah untuk tinggal bersama di sebuah indekos—kendati bukan itu yang menjadi satu-satunya alasan. Walaupun begitu, bila wajah-wajah para adik muncul saat tiap bulan menemui ayah ibu, perasaan sebagai kakak tertua tidak dipungkiri dipenuhi ruang rindu yang terbayarkan.

Sebuah pemandangan cukup melapangkan batin saat kali ini tiba ke rumah yang sudah memasuki hitungan bulan ditempati sejak pindah. Dagangan nasi ayah ibu nyaris habis, rupanya ada orang yang memborong. Beberapa saat setelahnya, rasa lapang entah kenapa terasa sempit saat nenek yang merupakan ibunya ayah tiba dengan mobil dikendarai cucu yang lain. Tidak hanya berdua, ada adik ayah juga keluar dari mobil itu. Perasaan Faraditha mengatakan hal yang tidak baik-baik saja, mengingat nenek diam saja saat ayah diperas Bibi Mega.

Sebagaimananya anak, ayah tetap menyambut kedatangan nenek. Pun ibu. Faraditha yang hampir akan beranjak daripada jelas wajah keruhnya, mau tidak mau patuh ketika ayah menyuruh untuk melayani nenek untuk makan. Untungnya, dan Faraditha harap ia tetap terlihat riang di mata nenek dan lainnya.

Tidak ada adik-adik, karena adik yang paling besar sedang bekerja, adik urutan selanjutnya sedang menjadi tukang parkir sejak putus sekolah karena memang kurang biaya, dan yang balita bermain di rumah tetangga. Faraditha sama sekali belum memberikan beberapa lembar untuk ayah ibu, meski warung ayah ibu saat ini dagangannya hampir habis namun tetap ingin ia berbagi. Akan tetapi apa yang dikhawatirkannya terwujud setelah diperhatikannya nenek selesai makan dan diajak bicara hangat oleh ayah. Di depan matanya sendiri—lagi—nenek menagih hutang ayah yang katanya hutang dari ayah baru menjadi pengantin baru.

"Hutang apa, mak?"

"Waktu itu kau pinjam satu juta! Sekarang sudah jadi sepuluh juta untuk kau bayar jasaku sebagai ibumu!"

Ayah ibu tampak terdiam, Faraditha merasa ingin mengetahui apa yang berlangsung di dalam benak ayah ibu.

"Emak, Iwan merasa tidak berhutang pada emak saat itu. Tapi kalau saja Iwan punya sepuluh juta, Iwan akan kasih, terserah mau disebut hutangnya Iwan atau bukan. Tapi masalahnya, uang sebesar itu tidak ada. Untuk makan saja kami sudah sangat bersyukur."

"Pokoknya gua gak mau tau! Sepuluh juta hari ini juga! Buat anak gua lagi nganggur!"

"Nggak ada, Mak..."

"Mana mungkin gak ada, warung rame, dagangan abis begitu?!" Nenek menunjuk pajangan dagangan makanan.

"Baru kali ini, Mak. Biasanya lebih sering masak diulang-ulang, Mak..."

Lihat selengkapnya