Taman itu tidak disangkanya akan didatanginya, setelah beberapa minggu menanti balasan dari sosok di belakang akun Mangifera Indica. Padahal pada mulanya—dan masih sebagaimana pertama kali memulai percakapan di ruang chat—sembarangan mengajak ke taman untuk bicara. Taman yang dikunjungi ditentukan oleh sang Mangifera Indica, Daniel menyanggupinya. Merasa jam dinas resminya membosankan karena tiada satu pun pasien yang ia layani, membuatnya tiba lebih awal ke lokasi janji temu.
Sebuah mall berdiri megah tidak jauh dari taman, Daniel mengemudikan mobilnya ke sana. Setelah menemukan tempat untuknya memarkir mobil, ia lantas mematikan mesin. Ia melihat jam tangannya sebelum keluar dari mobil, terpikir ingin memasuki mall sebelum kopi darat nanti. Suhu sejuk merambati tubuh begitu memasuki mall, pandangan mengedar mencari sekiranya ada yang menarik. Namun lagi-lagi tiada yang lebih menarik baginya di sebuah mall selain toko buku. Sudah banyak koleksi bacaan fiksinya dengan genre yang memiliki banyak adegan sadis, ia merasa ingin menambah lagi demi memudahkannya dalam menjalankan tugas dalam pekerjaan gelap. Dan memang, jauh sebelum tergabung dengan Juan serta lainnya, genre itu sudah memenuhi ruang benaknya setelah merasa di ujung frustasi dari insiden masa remajanya yang dinodai.
Pada salah satu rak buku yang dikunjungi, Daniel tepekur hampir teringat sosok yang selalu dipantaunya. Hanya dari jauh ia memandang, namun merasa tidak mungkin menghampiri dan mengakui tentang siapa dirinya bagi sosok tersebut. Karena meski bagaimana, sosok itu tidak tahu apa-apa, bahkan termasuk korban seperti dirinya. Dunianya hanya ada kabut kelam yang tidak bisa disadari sekitar setelah alami insiden yang merenggut sinar jiwanya, menjadikannya tidak bisa mempercayai siapa pun untuk menjalin interaksi lebih dekat.
Suasana toko buku yang tenang seakan-akan waktu bergerak sangat lambat, Daniel memeriksa jam tangannya kembali. Masih ada waktu baginya untuk menonton ke bioskop. Sebagaimana terhadap buku dengan genre yang disukai, begitupun genre film yang ia incar. Satu per satu dikunjunginya tiap bagian dinding yang menampilkan sampul berbagai jenis film, dirinya bukan sosok yang selalu antusias atau penasaran film apa yang sedang menjadi topik hangat.
Saat akan pindah dari dinding ke sekian menuju dinding sebelahnya, langkahnya terhenti melihat seorang gadis berjilbab seorang diri memandangi cukup lama sampul film di dinding yang akan Daniel lihat. Tanpa sadar diamatinya gadis bertubuh pendek itu, membuatnya penasaran sampul film apa yang sedang diperhatikan si gadis pendek berjilbab. Sesaat setelah menengok sekilas, Daniel kembali mengalihkan pandangan pada gadis itu yang seperti berusaha mencabut bulu mata sendiri.
Masokis?
Daniel sedikit mengernyitkan alis mata, ia merasa gadis itu tengah melakukan masokis—sebuah kenikmatan dari tindakan yang seharusnya menyakitkan. Dan mencabut bulu mata dianggap sebagai hal yang menyakitkan, tetapi pada 'penderita masokis' merasakan nikmat bila merasakan sakit. Begitu Daniel memandang gadis yang sama sekali tidak menunjukkan sakit itu. Tidak hanya sekali, beberapa kali, bulu mata itu bahkan diletakkan di punggung tangan gadis itu dan dihitungnya. Terpikir ingin menegur, namun urung ketika menyadari wajah gadis itu yang menurutnya tidak asing.
"Paramitha..."
Gadis itu menoleh. Memasang wajah polos seperti anak-anak.
Daniel menelan air ludah, mengejap-ngejapkan mata. Mengalihkan pandangan, tidak disangkanya gadis itu menoleh. Sedangkan, ternyata wajah gadis itu sedikit berbeda dengan wajah gadis yang namanya tadi ia sebutkan. Konyolnya, gadis itu tetap memandang Daniel, begitu heran dan menunggu.
"Maaf, saya salah orang."
"Kak Daniel...?"
Daniel merasakan wajahnya menegang, lalu menoleh pada gadis itu. Berulang kali menarik napas seraya wajahnya menunjukkan ketidakmampuan bicara yang nyaris. Dan setelah berusaha mengkondisikan diri, ia berusaha bicara ramah pada gadis itu. "Maaf, kok tau nama saya ya?"
"Kakak alumni SMA Bentang Cakrawala, kan? Saya lulusan setahun setelah kakak!"
Daniel memasang wajah bengong oleh raut wajah gadis itu yang begitu jujur. "Tapi saya gak tau kamu tuh..."
"Saya memang gak terkenal. Tapi...," wajah jujur yang menyiratkan riang itu entah mengapa memudar, gadis itu menunduk seperti berat untuk melanjutkan.
Daniel memandang penuh selidik. "Tapi kenapa?"
"Tapi saya pernah ke kelas kakak buat cari kakak kelas lain."