Nur Alyssa, lahir pada akhir bulan Juni, Tahun 2001. Hari itu, adalah hari dimana ia keluar dari rahim ibunya dan menatap dunia luar. Hari itu, kedua orang tuanya merasa bahagia karena memilikinya. Meskipun hari itu ayahnya tidak ada di samping ibunya, ia berharap ayahnya lah yang mengumandangkan adzan di telinganya.
Alyssa kecil sering termenung sendiri di depan rumah, memperhatikan orang-orang yang lalu lalang di hadapannya sembari memeluk guling kesayangannya serta boneka kumuh yang ia temukan di pembuangan sampah, lalu di cuci dan jahitkan kembali oleh neneknya.
Cukup lama Alyssa melakukan itu. Setiap pagi seusai adzan subuh berkumandang, ia selalu berlari keluar kamar, menatap jalanan dan menunggu pesawat terbang.
Jika orang lain selalu berharap akan ada uang jatuh dari langit, Alyssa justru berharap pesawat itu akan mengembalikan ibunya dari seberang.
"Kemana dia? Apakah dia lupa jalan pulang ke rumah, sampai meninggalkanku terlalu lama?" pikir Alyssa.
Neneknya bilang, ayah dan ibunya berpisah saat usianya kurang lebih dua tahun. Saat itu dia baru saja bisa berjalan sendiri dengan kedua kakinya tanpa bantuan orang lain.
Ibunya pergi keluar negeri dengan membawa sejuta pilu dan sakit hati dari ayahnya. Sementara ayahnya menghilang entah kemana karena terjerat kasus yang masih belum ia tahu sampai sekarang. Dan akhirnya, dia harus tinggal bersama nenek dan kakek dari pihak ibunya.
Saat dia kecil, ayahnya masih sering datang menemuinya. Mengajak bermain, dan membawanya untuk bertemu kakeknya. Alyssa selalu di ajak makan bersama dengan lauk sederhana, yang rasanya begitu nikmat karena adanya kebersamaan di antara mereka.
Jika saja Alyssa tahu, bahwa itu adalah momen terakhir kali ia menghabiskan waktu bersama kakeknya, dia ingin tinggal lebih lama. Ia merasakan sakit yang mendalam, setelah kehilangan kakek yang begitu memanjakan dia di pangkuannya, kakek yang selalu membanggakan dia sebagai cucu perempuannya yang berharga.
Dan untuk pertama kalinya setelah kakeknya tiada, ia bisa merasakan tidur bersama ayahnya. Tinggal satu atap dengan ayahnya adalah impian Alyssa sejak dulu, meski tahu itu hanya sementara saja.
Pagi harinya, Alyssa kecil terbangun karena merasakan tempat tidurnya basah. Ia segera beranjak dari tempat tidur dan berlari keluar, berteriak memanggil ayahnya yang tak di temukan di dalam rumah. Tak lama, ayahnya datang, menggendong Alyssa di pangkuannya yang saat itu sedang menangis.
"Celanaku basah," gumam Alyssa dengan nada sedikit takut, padahal malam itu ia sudah berjanji tidak akan ngompol lagi.
Ayahnya segera menurunkannya, mengganti celana milik Alyssa. Alyssa yang baru berusia lima tahun itu, menatap ayahnya dan meminta maaf.
Dengan rumah kayu sederhana yang jauh dari kata mewah, hari itu Alyssa merasa sangat bahagia. Tapi seperti yang ia pikirkan sebelumnya, bahagia itu tidak akan bertahan lama, karena ayahnya harus mengembalikan dia pulang ke rumah nenek dan kakek dari ibunya.
Alyssa digendong di atas punggung ayahnya, ayahnya selalu saja diam tanpa berkata-kata. Entah sampai kapan mereka akan tampak asing seperti itu, padahal ikatan mereka kuat.
"Ayah, kenapa aku tidak bisa tinggal bersamamu saja?" tanya Alyssa dari belakang.
"Nanti setelah dewasa kau akan mengerti," jawab ayahnya.
"Ayah, kapan ibu akan pulang? Kenapa kau tidak menjemputnya saja?" celetuknya.
Alyssa kecil yang tidak tahu apa-apa terus melontarkan pertanyaan yang memberatkan ayahnya. Hari itu ia benar-benar ingin segera tumbuh dewasa, agar bisa mengerti masalah kedua orang tuanya. -Dan sekarang Alyssa mengerti, bahwa menjadi dewasa itu tidaklah mudah-
"Ibumu akan pulang!"
Kalimat itu, bahkan sering kali dia dengar dari mulut orang-orang. Tapi sampai dia masuk Sekolah Dasar untuk pertama kalinya, ibunya tetap tidak ada.
Alyssa duduk bersama teman sebangku yang bernama Dewi, dia gadis yang baik hati dan cantik, senyumnya sangat manis. Dewi orang pertama yang menjadi teman Alyssa di sekolah.
Alyssa pikir, Dewi memiliki kehidupan yang lebih baik darinya, tapi ibunya sering menyiksanya dan mendidiknya dengan sangat keras. Hari itu, Alyssa benar-benar merasa ketakutan melihat temannya di pukuli oleh seikat sapu lidi. Ia merasa kasihan, tapi tak bisa berbuat banyak. Sejak saat itu, Alyssa tidak pernah lagi mengharapkan ibunya untuk kembali.
Alyssa mencoba menjalani kehidupannya yang normal seperti anak-anak seusianya. Beberapa minggu setelah kejadian itu, Dewi tidak pernah masuk sekolah, kabarnya pindah rumah. Alyssa tak lagi punya teman yang bisa di ajak bicara.