Alyssa menatap layar ponselnya dengan keraguan yang menggelayut di benaknya. Pesan dari Alex membawa perasaan yang rumit. Hatinya ingin melompat ke depan, merangkul peluang untuk sesuatu yang lebih, tapi ingatannya masih terluka oleh kenangan masa lalu yang menorehkannya.
Trauma itu seperti bayangan gelap yang selalu mengintai di sudut pikirannya, menahan langkahnya untuk maju.
"Kuharap hubungan kita ke depannya baik-baik saja, dan kalau bisa semakin baik. Jangan sampai renggang, okey? Aku selalu jaga hati buat kamu, Insya Allah," bunyi pesan dari Alex, yang membuyarkan lamunan Alyssa.
"Ini lagi becanda atau gimana?" Alyssa bertanya, mencoba menyingkirkan keraguan dalam suaranya.
"Emang ada yang keliatan becandanya, yah?" balas Alex, tetapi Alyssa merasakan getaran serius di balik kata-katanya.
"Tapi kan masih banyak yang lebih baik dari aku," ucap Alyssa, menyadari ketidakpercayaan pada dirinya sendiri.
"Ya masih lah, banyak malah. Tapi aku nyamannya sama kamu, mau gimana? Ya, aku sebagai raga bertanggung jawab sama hati aku lah," kata Alex dengan tegas.
Mendengar itu, Alyssa terdiam sejenak, menghirup aroma masa lalu yang masih menghantui. Dia berusaha menutup hatinya, menyembunyikan luka yang belum sembuh, takut untuk memulai hubungan yang lebih dalam lagi. Tetapi, saat itulah Alex menyentuh benang-benang hatinya dengan kata-kata berikutnya.
"Hati aku tuh suka ngasih sinyal ke aku, bahwa dia senang dan seperti lebih hidup kalau dekat kamu. Mau gak mau, aku harus turutin kemauannya. Jadi Alyssa, kamu mau kan hubungan kita lebih dari sekedar teman?" tanya Alex, suaranya bergetar penuh harapan.
"Alex, maaf, apa aku boleh memikirkannya dulu? Aku punya banyak trauma dalam hidupku," ucap Alyssa, suaranya lemah terdengar di antara kebisuan yang menyelimuti.
"Aku akan menunggu, jangan merasa terbebani Alyssa," kata Alex dengan penuh pengertian.
Alyssa menghela nafas panjang, menutup ponselnya, dan membiarkan dirinya tenggelam dalam pikirannya.
Baginya, menjalin hubungan itu bukan sekadar tentang cinta dan kebahagiaan, tapi juga tentang keberanian untuk menghadapi ketakutan dan luka yang mungkin datang.
Cinta bisa menjadi anugerah, tetapi juga bisa menjadi bencana. Memutuskan untuk jatuh cinta, itu sama saja seperti mempersiapkan diri untuk berperang dengan segala rintangan yang akan datang.
Alyssa mengetuk-ngetukkan jari-jarinya di meja, merenungkan apakah dia siap untuk memasuki medan perang yang disebut cinta sekali lagi. Tetapi, dalam keraguan itu, ada juga sebuah harapan gemilang yang berkilau di kejauhan, menyilaukan matanya dengan janji-janji yang belum terucap.
Maka, dengan langkah ragu namun penuh tekad, Alyssa memutuskan untuk membiarkan hatinya menjawab pertanyaan yang belum terucap itu, sambil mempersiapkan diri untuk segala kemungkinan yang akan menghampirinya di perjalanan ke depan.
Malam itu, setelah berakhirnya pembicaraan mereka, Alyssa membaringkan dirinya di tempat tidur. Pikirannya masih dipenuhi dengan percakapan yang baru saja mereka lalui.
Meskipun terpisah oleh jarak dan layar ponsel, suara Alex masih bergema di telinganya, membawa kedamaian dan kegelisahan secara bersamaan.
Dengan mata yang mulai terasa berat, Alyssa merenung tentang keputusannya. Dia tahu bahwa apa pun yang dipilihnya akan membawa konsekuensi, baik itu membuka hatinya lagi atau memilih untuk tetap terjebak dalam lapisan perlindungan yang telah dibuatnya.
Namun, di antara keraguan dan ketakutan, ada juga api keinginan yang membara di dalamnya, menggelora dan meminta untuk diberi kesempatan. Alyssa juga mulai memiliki perasaan yang kian tumbuh di hatinya untuk Alex. Hanya saja, dia berusaha menyembunyikannya serapi mungkin.
Beberapa hari setelah itu, mereka merencanakan untuk bertemu dan menghabiskan waktu bersama. Namun, Alex belum memberi tahu Alyssa tentang tujuan sebenarnya hari itu.
Matahari hampir tenggelam ketika Alex menjemput Alyssa dengan sepeda motornya. Dengan senyuman yang menenangkan, Alex menyambut Alyssa yang terlihat sedikit gugup.
"Siap?" tanya Alex sambil menyerahkan helm padanya.
"Siap," jawab Alyssa, meskipun hatinya masih berdebar dengan kecemasan yang tak bisa diabaikan.
Mereka berdua melaju di jalanan kota yang sibuk, dengan angin yang menerpa wajah mereka. Alyssa memeluk erat pinggang Alex, merasa nyaman dengan kehadirannya yang selalu memberi rasa aman.
Setelah beberapa waktu, mereka tiba di sebuah warung makan kecil yang tampak sederhana namun ramai pengunjung.