Di sudut perpustakaan kampus yang tenang, di antara rak-rak buku yang tinggi menjulang dan lampu-lampu kecil yang menerangi ruangan dengan lembut, aku duduk di meja kayu yang selalu aku pilih.
Tidak lupa, di atasnya terdapat pendingin ruangan berbentuk kipas bulat yang terus berputar selama dinyalakan.
Di hadapanku terhampar laptop yang sudah menemani setiap langkah perjalanan akademis dan penulisananku.
Suasana ini telah menjadi tempat pelarian dan penyemangatku, ruang di mana aku bisa menuangkan setiap rasa dan pikiran yang mengisi benakku.
Jika aku harus menentukan di mana tempat yang paling aku suka di bumi ini, perpustakaan akan menjadi salah satu tempat yang aku pilih.
Aku memulai hari-hariku di sini dengan ritual yang sama: membuka dokumen tulisan dan menatap layar kosong sebelum akhirnya mulai mengetik.
Satu-satunya suara yang mengganggu ketenangan adalah ketikan jari-jariku di keyboard dan sesekali gumaman halus dari para pengunjung lain.
Ini adalah tempat di mana aku bisa mendalami pikiran dan mengingat kembali perjalanan hidupku yang penuh warna.
Setiap huruf yang kutulis adalah cerminan dari pengalaman-pengalaman yang membentuk diriku hari ini.
Oh, ya, aku lupa belum memperkenalkan diri.
Perkenalkan, aku Acita, seorang mahasiswi semester lima jurusan matematika di salah satu universitas yang ada di Indonesia, Bandung tepatnya.
Aku berusaha keras untuk mewujudkan mimpiku menjadi seorang penulis dan aktuaris.
Sejak kecil, hidupku dipenuhi dengan berbagai tantangan dan rintangan yang harus kuhadapi dengan tekad dan keberanian.
Latar belakangku bukanlah cerita klasik dari seorang penulis sukses yang memiliki semua kemudahan di tangan, melainkan kisah nyata tentang perjuangan dan ketahanan yang mengajarkanku arti sebenarnya dari kerja keras dan kesabaran.
Kisahku dimulai di sebuah desa kecil, tempat aku dilahirkan dalam keluarga sederhana.
Ayahku seorang petani yang bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari kami, sedangkan ibuku juga turut bekerja di ladang untuk membantu perekonomian keluarga.
Dulu aku baru memiliki seorang adik laki-laki yang usianya tidak terlalu terpaut jauh denganku. Dia empat tahun lebih muda dariku.
Ketika aku berusia tujuh tahun, kehidupan kami harus mengalami perubahan besar.
Orang tuaku terpaksa meninggalkan rumah dan bekerja jauh dari desa untuk mencari penghasilan yang lebih baik.