Menggapai Mimpi di Tengah Keterbatasan

E. Precious
Chapter #2

Masa Kecil yang Sulit

"Nenek, kapan ayah dan ibu pulang?"

Pertanyaan itu sudah lebih dari puluhan kali aku tanyakan kala itu.

"Nanti juga pulang. Ayah dan ibu hanya pergi sebentar."

Jawaban itu berulang kali nenek katakan padaku.

Aku masih mengingat dengan jelas bagaimana suasana saat itu. Benar-benar menyedihkan untuk anak kecil seusiaku.

Aku duduk di atas ranjang kecil yang terletak di sudut kamar sederhana yang kami sebut rumah.

Ruangan itu, meski kecil, penuh dengan kenangan yang tak tergantikan.

Hari-hari pertama tinggal bersama nenek adalah masa-masa yang penuh dengan adaptasi.

Aku baru saja berusia tujuh tahun ketika orang tuaku harus pergi jauh untuk mencari pekerjaan.

Nenekku, dengan sabar dan penuh kasih sayang, menerima tanggung jawab untuk merawatku, sementara ayah dan ibu berjuang untuk mendapatkan penghasilan yang cukup.

Hidup bersama nenek adalah perubahan besar dari kehidupan yang aku kenal sebelumnya.

Aku dan kedua orang tuaku tinggal di sebuah rumah tua dengan dinding yang terbuat dari anyaman bambu yang sudah mulai lapuk.

Rumah itu tidak besar, hanya terdiri dari satu kamar tidur, sebuah ruang tamu yang sekaligus dapur, dan sebuah teras kecil yang sering kami gunakan untuk bersantai di sore hari.

Setiap sudut rumah ini memiliki ceritanya sendiri—cerita tentang hidup yang penuh perjuangan dan cinta yang mendalam.

Rumah kami jauh berbeda dengan rumah nenek. Di mana rumah nenek jauh lebih baik dari rumah kami.

Namun, jika diizinkan untuk memilih, aku akan tetap memilih untuk tinggal bersama ayah dan ibukku di rumah lapuk yang terbuat dari anyaman bambu.

Aku mengingat bagaimana pagi-pagi dihabiskan dengan mengumpulkan kayu bakar untuk api unggun.

Nenek akan membangunkanku sebelum matahari terbit dan meminta aku membantu mempersiapkan sarapan sederhana.

Singkong bakar dengan secangkir teh panas adalah hidangan pagi kami, yang sering kali terasa seperti makanan mewah di tengah keterbatasan kami.

Meskipun makanan kami sederhana, nenek selalu memastikan bahwa kami mendapatkan gizi yang cukup dan penuh kasih sayang.

Tugas-tugas sehari-hari seperti mengumpulkan air dari sumur yang terletak cukup jauh dari rumah atau membantu nenek menanam sayuran di kebun kecil di belakang rumah menjadi bagian dari rutinitas.

Aku belajar banyak tentang cara bertahan hidup dan menghargai setiap butir nasi dan setetes air yang kami miliki.

Meskipun aku masih terlalu muda untuk benar-benar memahami kesulitan ekonomi yang dihadapi keluargaku, aku merasakan beban tersebut di pundakku dengan cara yang sangat nyata.

***

Lihat selengkapnya