Menggapai Mimpi di Tengah Keterbatasan

E. Precious
Chapter #3

Dua Tahun

°°°

Rinai hujan yang turun dari langit kelabu menyambut kepulanganku.

Dua tahun yang lalu, aku meninggalkan rumah kecil kami untuk tinggal bersama nenek.

Rasanya seperti kemarin ketika kami melangkah pergi, berbekal kenangan manis dan janji untuk kembali.

Sekarang, aku kembali.

Ayah dan Ibu menjemputku dan memelukku dengan senyum hangat, namun ada bayangan kelelahan di wajah mereka yang tak bisa kusangkal.

Senyuman mereka, meskipun tulus, terasa seperti topeng yang menyembunyikan rasa lelah yang mendalam.

Adikku, sepertinya dia tumbuh dengan baik. Kini usianya sudah menginjak lima tahun. Dia tampan dan menggemaskan.

Setelah berpisah dua tahun lamanya, akhirnya kami akan tinggal bersama lagi.

Jalan menuju rumah kami berlumpur, bercampur air hujan yang menggenang, menciptakan genangan kecil yang melambangkan kenangan masa lalu yang terpendam.

Di sepanjang jalan yang kami lewati, aku mencuri pandang ke arah Ibu.

Kulitnya yang dulu halus kini terlihat keriput, seakan waktu telah meninggalkan jejak yang jelas.

Matanya yang dulu bersinar penuh semangat kini tampak sayu, seolah mengisahkan cerita panjang tentang segala kesulitan yang dihadapi.

Ayah berjalan di sampingnya, tubuhnya lebih kurus dari yang kuingat.

Setiap langkahnya terasa berat, seakan-akan beban hidup telah menggerus tenaganya.

Aku ingin bertanya apa yang terjadi, tetapi kata-kata itu tersangkut di tenggorokanku.

Rasa khawatir dan rasa bersalah bercampur aduk, membuatku ragu untuk membongkar luka lama yang mungkin masih membekas.

Ketika kami mendekati rumah, aroma tanah basah dan dedaunan segar menerpa hidungku.

Kenangan tentang permainan masa kecil dan tawa riang mengalir deras, namun kenyataan yang kulihat di depan mata menyedihkan.

Dinding rumah dari anyaman bambu yang dulunya ceria kini pudar warnanya, tampak rapuh dan butuh perhatian.

Di depan pintu, adikku menggenggam tanganku erat, seolah ingin meyakinkanku bahwa kami akan baik-baik saja.

Dengan satu tarikan napas dalam, aku membuka pintu.

Suasana di dalam rumah menyambut kami dengan keheningan yang tidak biasa.

Aku melihat kondisi rumah yang tampak lebih tua dan lusuh daripada yang aku ingat.

Genteng-genteng yang bocor, dinding yang berlumut, serta pintu kayu yang berderit setiap kali dibuka.

Namun, rumah ini tetaplah rumah, tempat di mana kenangan masa kecilku bersama adikku bersemayam.

"Kami sudah menyiapkan kamar untukmu," kata Ibu dengan suara lembut namun terdengar lelah.

Aku masuk ke kamar kecil di sudut rumah.

Lihat selengkapnya