Menggapai Mimpi di Tengah Keterbatasan

E. Precious
Chapter #4

Harapan Baru

°°°

Hari itu terasa cerah, dan aku bisa merasakan getaran semangat di udara. 

Sembilan tahun berlalu sejak aku menembus kesedihan dan keterpurukan, dan hari ini, semua perjuanganku terbayar. 

Dengan semangat yang baru, aku berdiri di depan cermin, menggenggam surat beasiswa yang aku impikan. Rasanya seperti mimpi yang akhirnya menjadi kenyataan.

Dulu, hidupku sangat berbeda. Aku ingat saat-saat ketika aku berjuang dengan berbagai tantangan.

Ketika Ayah berjualan keliling dengan penghasilan yang begitu kecil dan menjadi petani bersama ibu—itu adalah kenangan yang menyedihkan untukku.

Apalagi ejekkan dan cemooh dari orang-orang sekitar yang hampir setiap hari terdengar–itu sungguh menyakitkan. 

Namun, aku tak pernah menyerah. Setiap malam, aku belajar dengan sisa cahaya yang masuk dari jendela, juga lentera yang berbahan bakar minyak tanah.

Aku ingin membuktikan bahwa meskipun hidup ini penuh kesulitan, ada harapan yang bisa aku raih.

Sekarang, aku berdiri di ambang pintu sebuah babak baru. 

Di kamar, Deri, adikku, duduk di sudut dengan buku di pangkuannya. 

Dia tampak asyik dengan buku tugas sekolahnya, tetapi ketika aku memanggilnya, wajahnya beralih ke arahku. “Dek, kakak dapat beasiswa!” seruku dengan suara bergetar.

Dia menatapku, matanya melebar penuh rasa ingin tahu. “Beasiswa? Untuk kuliah?” Dia bertanya, memastikan apa yang baru saja dia dengar.

“Iya! Kakak diterima di Universitas yang kakak impikan. Ini kesempatan kita!” 

Dia melompat dari kursinya, berlari memelukku. “Kakak, itu luar biasa! Aku tahu Kakak bisa!” Dia melompati kebahagiaan. Suasana seketika menjadi lebih ceria.

Aku merasakan haru di dadaku. “Tapi, kakak harus memberi tahu Ayah dan Ibu dulu.”

Dengan langkah cepat, aku menuju ruang tamu. 

Di sana, Ayah sedang membetulkan mesin motornya yang sering kali mati karena motornya sudah tua, sementara Ibu sedang melipat baju. 

Saat aku melangkah perlahan menghampiri mereka, aku merasa semua mata mereka tertuju padaku. 

Ruang tamu kecil kami terasa lebih hangat dengan kehadiran mereka.

“Ibu, Ayah!” suaraku bergetar. “Aku berhasil! Aku dapat beasiswa untuk kuliah!”

Ayah langsung meletakkan peralatan mesinnya, dan Ibu berhenti sejenak, kedua telapak tangannya terhenti di atas pakaian yang hendak dia lipat.

Mereka menatapku, tidak percaya. Dalam pandangan mereka, aku melihat harapan yang tersimpan selama bertahun-tahun.

Lihat selengkapnya