°°°
Hari pertama di universitas terasa menegangkan dan menyenangkan sekaligus.
Langkah-langkahku terasa mantap namun penuh kecemasan saat aku memasuki kampus yang megah, yang selama ini hanya kulihat di brosur dan di layar ponsel.
Gedung-gedung tinggi dengan arsitektur modern menyambutku di pagi yang cerah itu.
Aku masih tak percaya bahwa ini adalah awal dari mimpiku yang perlahan menjadi nyata.
Namun, di balik euforia itu, ada sedikit rasa takut—apakah aku benar-benar siap menghadapi dunia yang jauh lebih besar ini?
Aku berhenti sejenak di depan gerbang utama, menatap papan nama universitas dengan bangga. "Bismillah," gumamku, berharap segala sesuatunya berjalan dengan lancar.
Saat masuk ke aula utama untuk orientasi, ratusan mahasiswa lain sudah duduk di kursi, masing-masing sibuk dengan dunianya sendiri.
Beberapa terlihat akrab satu sama lain, mungkin mereka datang dari sekolah yang sama. Aku, di sisi lain, merasa seperti ikan kecil di lautan yang luas.
Namun, aku tahu, ini adalah saatnya untuk berkembang.
***
Orientasi berlangsung cukup lama, dan aku mencoba menyerap setiap informasi yang diberikan.
Mulai dari aturan akademik hingga kegiatan ekstrakurikuler, semuanya terdengar baru dan menarik.
Di tengah-tengah sesi, seorang gadis dengan rambut sebahu dan kacamata besar duduk di sampingku.
Dia tampak sama gugupnya denganku. Sesekali, dia melirik ke arahku, seakan ingin memulai percakapan, tapi ragu-ragu.
Akhirnya, aku memutuskan untuk mengulurkan tangan duluan.
"Hai, aku Acita," sapaku sambil tersenyum. "Baru masuk juga?"
Gadis itu mengangkat pandangannya dan tersenyum lebar. "Iya, aku Rina. Senang bertemu denganmu!" jawabnya penuh semangat.
Kami pun mulai mengobrol, saling bertukar cerita tentang asal-usul kami.
Ternyata, Rina berasal dari desa kecil yang tidak terlalu jauh dari kampung halamanku. Kami langsung merasa cocok satu sama lain.
“Kamu ambil jurusan apa?” tanyaku.
“Matematika,” jawab Rina, matanya bersinar. “Aku suka banget berhitung. Kalau kamu?”
“Matematika juga,” kataku sambil tertawa kecil. “Sepertinya kita bakal sering ketemu, ya.”
Obrolan kami berlanjut hingga sesi orientasi berakhir. Rasanya menyenangkan sudah punya teman baru di hari pertama.
***
Hari-hari berikutnya, kesibukan perkuliahan mulai terasa. Setiap pagi, aku berjalan cepat menuju kelas, berusaha menghindari terlambat.
Kampus ini begitu luas, dan butuh waktu untuk membiasakan diri dengan jalan-jalan kecil yang menghubungkan berbagai gedung.
Di salah satu hari kuliah pertama, aku harus menghadapi tantangan yang tidak pernah kuperkirakan.
Mata kuliah statistika dasar, yang seharusnya menjadi pembuka yang mudah, ternyata cukup memusingkan.
Dosennya, Pak Firman, terkenal dengan cara mengajarnya yang cepat dan sulit diikuti. Di tengah-tengah kelas, aku mulai merasa tertinggal.
“Ada yang ingin ditanyakan?” tanya Pak Firman sambil menatap para mahasiswa di ruangan. Beberapa anak mengangguk pelan, tapi kebanyakan hanya terdiam. Termasuk aku.
Aku ingin bertanya, tapi takut terdengar bodoh. Aku merasa setiap orang di ruangan ini jauh lebih pintar dariku.