Menggapai Mimpi di Tengah Keterbatasan

E. Precious
Chapter #6

Kedamaian dalam Tulisan

°°°

Setelah beberapa minggu berlalu, rutinitas kuliah mulai terasa semakin padat.

Jadwal kelas, tugas kelompok, dan berbagai ujian kecil terus berdatangan, menuntut fokus dan energi yang tak henti-hentinya.

Namun, di tengah semua itu, aku selalu berusaha meluangkan sedikit waktu untuk hobiku yang selama ini menjadi pelarian terbaik: menulis puisi, cerpen dan novel.

Aku sering pergi ke perpustakaan kampus, mencari sudut yang tenang dan tersembunyi dari keramaian mahasiswa lain yang sibuk dengan urusan akademik.

Di tempat itulah aku merasa bisa menemukan kembali keseimbangan di tengah kekacauan kuliah.

***

Hari itu, setelah menyelesaikan satu kelas yang melelahkan, aku memutuskan untuk mampir ke perpustakaan kampus.

Perpustakaan selalu menjadi tempat favoritku sejak pertama kali menjejakkan kaki di universitas ini.

Deretan buku-buku yang rapi, suasana sunyi yang menenangkan, dan wangi khas kertas yang sudah lama menjadi temanku dalam menulis.

Dengan tas punggung berisi laptop dan buku catatan, aku berjalan cepat menuju pintu masuk perpustakaan.

Setibanya di sana, aku menemukan tempat duduk favoritku, di sudut dekat jendela besar yang menghadap ke taman.

Cahaya matahari sore yang masuk melalui kaca jendela memberikan kehangatan yang pas untuk memulai tulisanku. Aku membuka laptop dan mulai mengetik pelan-pelan, kata demi kata.

"Aku nggak pernah nyangka bisa meluangkan waktu seperti ini," gumamku pelan, merasa sedikit lega karena akhirnya bisa menulis lagi setelah beberapa waktu terjebak dengan tugas-tugas kuliah.

Aku mulai mengetik beberapa bait puisi yang sudah lama ada di pikiranku tapi belum sempat kutuangkan.

_Saat angin berbisik lembut,  

Aku mendengar ceritamu dalam diam.  

Lembutnya suara yang tak pernah sirna,  

Mengisi setiap sudut malamku yang sunyi._

"Rina pasti bakal bilang aku berlebihan kalau dia baca ini," gumamku sambil tersenyum.

Rina memang sering membaca puisi dan cerpen yang kutulis, tapi selalu saja dia menyebut tulisanku terlalu melankolis.

Aku tak keberatan, karena bagiku menulis adalah caraku mengekspresikan diri tanpa harus memikirkan apa yang dipikirkan orang lain.

***

Beberapa saat kemudian, saat aku sedang asyik menulis, suara langkah kaki yang akrab mendekatiku. Ternyata benar, Rina datang dan duduk di sebelahku, membawa buku catatan tebalnya.

“Wah, lagi sibuk nulis ya?” tanya Rina sambil melirik layarku.

Aku mengangguk sambil tersenyum tipis. “Ya, lagi nyoba nulis puisi baru. Tadi dapet inspirasi pas liat angin di taman.”

Rina tertawa kecil. “Kamu dan puisimu. Kadang aku mikir kamu terjebak di dunia lain waktu lagi nulis. Emangnya nggak pusing ya, di tengah-tengah banyaknya tugas kuliah malah nyempetin nulis begini?”

Aku menatap Rina sejenak, lalu menggeleng. “Justru nulis itu yang bikin aku nggak pusing. Kalau nggak nulis, otakku bisa meledak karena kebanyakan mikir statistik sama tugas-tugas lainnya.”

Rina mengangguk sambil tersenyum. “Ya sih, aku ngerti kok. Setiap orang punya cara masing-masing buat lepas dari tekanan. Kalau aku, lari ke drama Korea. Kalau kamu, ya puisi dan novel.”

Kami tertawa bersama, dan untuk sesaat, beban yang terasa berat di pundakku sedikit menghilang.

Setelah beberapa menit ngobrol, Rina kembali ke buku catatannya, mengerjakan tugas, sementara aku melanjutkan menulis.

***

Aku beralih dari puisi ke cerpen. Kali ini, aku ingin menulis cerita pendek tentang seorang gadis yang berjuang menghadapi dunia dengan segala keterbatasannya.

Seorang tokoh yang mungkin tak jauh berbeda denganku, yang terus mencari keseimbangan antara mimpi dan kenyataan.

Lihat selengkapnya