Menggapai Mimpi di Tengah Keterbatasan

E. Precious
Chapter #7

Lomba Cerpen

°°°

Keesokan harinya, rutinitas kampus dimulai kembali.

Aku dan Rina duduk bersama di perpustakaan, seperti biasa, dikelilingi oleh tumpukan buku dan materi kuliah.

Namun, pikiranku hari itu melayang ke tempat lain.

Kata-kata Rina dari hari sebelumnya tentang menulis terus terngiang-ngiang di kepalaku.

Entah mengapa, aku merasa dorongan yang semakin kuat untuk menulis sesuatu yang lebih berarti, sesuatu yang bisa kuperlihatkan ke dunia luar.

Aku mencoba fokus pada materi statistik yang ada di hadapanku, tapi jujur saja, pikiranku penuh dengan ide-ide cerita yang terus berputar.

Aku tahu, jika aku terus mengabaikannya, aku akan kehilangan kesempatan besar untuk benar-benar mendalami dunia menulis ini.

“Eh, kamu nggak fokus ya?” Rina tiba-tiba bertanya, membuyarkan lamunanku.

Aku tersenyum kecil, tertangkap basah. “Iya, sedikit. Aku kepikiran buat ikut lomba cerpen.”

Rina terkejut dan tersenyum lebar. “Serius? Itu ide yang bagus! Apa kamu udah punya tema?”

Aku mengangguk pelan. “Aku pikir, mungkin aku bisa menulis tentang kemerdekaan Indonesia. Topiknya cukup luas, tapi juga punya banyak makna yang bisa digali lebih dalam.”

Rina langsung semangat. “Itu tema yang bagus banget! Sekarang banyak lomba cerpen yang cari cerita dengan tema nasionalisme, apalagi dekat-dekat hari kemerdekaan. Kamu harus coba!”

Keputusan untuk mengikuti lomba cerpen itu tiba-tiba menjadi semakin nyata.

Malam harinya, aku langsung membuka laptop dan mulai menulis.

Aku membayangkan Indonesia yang merdeka, perjuangan para pahlawan, dan bagaimana semangat itu masih terasa hingga hari ini.

Aku ingin menulis sesuatu yang bukan hanya menginspirasi, tapi juga membangkitkan rasa bangga dan harapan bagi yang membacanya.

Aku menulis sepanjang malam, tenggelam dalam dunia yang kubangun sendiri.

Kalimat demi kalimat terangkai, dan sebelum aku sadar, cerpen tentang perjuangan seorang anak muda di masa revolusi Indonesia sudah selesai.

Aku menulisnya dari sudut pandang seorang pemuda yang ikut serta dalam mempertahankan kemerdekaan. Dalam ceritaku, dia harus memilih antara mengejar mimpi pribadinya atau berjuang demi negaranya. 

***

Beberapa minggu kemudian, dengan perasaan campur aduk antara gugup dan antusias, aku mengirimkan cerpen itu ke lomba cerpen tingkat nasional yang diadakan oleh sebuah penerbitan sastra.

Aku tak berani berharap terlalu tinggi, namun dalam hatiku ada sedikit harapan bahwa tulisanku akan mendapat tempat di hati para juri.

Hari-hari berlalu dengan cepat. Aku dan Rina tetap belajar seperti biasa, tapi diam-diam aku menunggu pengumuman lomba dengan penuh harap.

Di satu sisi, aku berusaha meyakinkan diriku bahwa ini hanyalah pengalaman baru, bahwa yang penting adalah aku sudah berani mencoba.

Namun di sisi lain, rasa penasaranku makin menguat setiap kali memikirkan lomba tersebut.

***

Suatu hari, saat sedang bersantai di taman kampus dengan Rina, ponselku berbunyi.

Aku melihat sebuah pesan masuk dari pihak penyelenggara lomba. Tanganku gemetar saat membuka pesan itu, dan saat membaca isi pesannya, aku terdiam, tak percaya.

“Selamat! Cerpen Anda terpilih sebagai juara pertama dalam lomba cerpen tingkat nasional kami. Kami akan segera menghubungi untuk detail lebih lanjut.”

Aku tertegun. Tak percaya apa yang kubaca. Rina, yang melihat reaksiku, langsung penasaran. “Kenapa? Apa yang terjadi?”

Aku menatapnya, masih terkejut, sebelum perlahan-lahan berkata, “Aku menang, Rin. Aku menang lomba cerpen itu.”

Rina langsung melompat kegirangan, hampir saja menarik perhatian seluruh mahasiswa di sekitar kami. “Ya ampun! Serius? Ini luar biasa! Aku sudah bilang kan, tulisanmu itu hebat!”

Aku masih sulit mempercayainya. “Aku nggak nyangka. Ini pertama kalinya aku ikut lomba cerpen, dan aku langsung menang.”

Rina tertawa sambil menepuk punggungku. “Itu karena kamu berbakat, dan sekarang dunia mulai melihat bakatmu!”

Lihat selengkapnya