°°°
Kehidupan kampusku mulai kembali normal setelah ujian akhir semester.
Aku merasa lebih percaya diri, tapi seperti halnya kehidupan, tak semua hal berjalan mulus.
Di tengah euforia kesuksesan, sebuah konflik tak terduga muncul, menghantamku dari arah yang tak kusangka—teman sekelas.
Pagi itu, aku tiba di kelas sedikit lebih awal dari biasanya. Saat berjalan melewati meja-meja kosong, aku mendengar bisik-bisik yang tak biasa.
Aku mencoba mengabaikannya, namun beberapa teman sekelas terlihat memandangiku dengan tatapan aneh. Aku duduk di tempatku biasa, membuka buku, dan menunggu kelas dimulai, berusaha memfokuskan pikiranku pada pelajaran.
“Aku nggak tahu apa bagusnya tulisannya. Menang hanya karena tema kemerdekaan, kan? Itu kan tema umum. Aku juga bisa menulis seperti itu,” bisik seorang teman, Lia, dengan suara cukup keras untuk kudengar.
Aku tertegun, tapi berusaha tetap tenang. Lia adalah salah satu teman sekelasku yang selama ini bersikap biasa saja, bahkan kadang-kadang bersahabat.
Namun, entah kenapa, kali ini ada nada sinis dalam suaranya yang tak bisa kupahami.
“Aku juga nggak ngerti kenapa dia menang,” lanjut seseorang di dekat Lia. “Mungkin cuma kebetulan.”
Rasa panas mulai menjalar di dalam diriku, tapi aku memilih untuk diam.
Menanggapi mereka hanya akan memperburuk situasi, dan aku tahu ini bukan waktunya untuk konfrontasi.
Namun, ucapan mereka terus berputar di kepalaku. Apa aku benar-benar hanya beruntung? Apakah mereka berpikir karyaku tak layak diakui?
Ketika kelas dimulai, aku berusaha keras untuk fokus pada penjelasan dosen.
Namun, di dalam pikiranku, rasa tak nyaman itu tetap ada. Kata-kata Lia dan beberapa teman lainnya terasa menusuk.
Apakah mereka selalu berpikir seperti itu tentangku? Dan jika iya, mengapa mereka tidak pernah mengatakannya langsung?
***
Setelah kelas selesai, aku duduk di perpustakaan, berharap bisa mengalihkan pikiran dengan belajar untuk ujian yang akan datang.
Namun, rasa kesal masih menempel kuat di dalam diriku.