°°°
Setelah beberapa bulan berusaha keras menjaga keseimbangan antara belajar dan istirahat, aku mulai merasa semuanya berjalan lebih baik.
Aku tidak lagi merasa tertekan dengan jadwal yang padat, karena kini aku bisa lebih efektif mengatur waktu.
Setiap tugas yang datang, aku coba selesaikan lebih awal, dan setiap kali merasa lelah, aku tidak segan mengambil waktu untuk beristirahat.
Namun, di balik itu semua, ada hal yang perlahan-lahan mulai kusadari.
Ada sesuatu yang mulai mengganggu pikiranku — sesuatu yang membuatku merasa ada yang kurang, yang hilang dalam keseharianku.
Di tengah kesibukanku dengan tugas-tugas kuliah, aku semakin jarang berbincang dengan Ayah dan Ibu.
Bahkan, setiap kali ada waktu luang, aku lebih sering menggunakannya untuk tidur atau mengejar ketertinggalan materi kuliah.
Hubungan kami yang dulu begitu dekat, perlahan terasa merenggang, meskipun mereka selalu mendukung dan mendoakanku.
Aku tahu mereka mengerti beban yang kutanggung, tapi aku tak bisa menghilangkan perasaan bersalah setiap kali terpikirkan bahwa aku sudah lama tak memberi mereka waktu.
Waktu-waktu bersama keluargaku benar-benar terasa semakin jauh.
Kesibukan kuliah, tugas yang terus berdatangan, dan kegiatanku di kampus membuatku sering kali lupa hanya sekadar berbincang hangat bersama Ayah dan Ibu, bahkan saat aku memiliki sedikit waktu luang.
Meski aku tinggal satu rumah dengan mereka, jarak emosional di antara kami kian terasa.
Ayah dan Ibu tidak pernah mengeluh.
Setiap kali aku pulang ke rumah, mereka menyambutku dengan senyum hangat dan perhatian seperti biasa.
Ayah selalu bertanya tentang kuliahku, dan Ibu tak pernah lupa menyiapkan makanan favoritku di meja makan.
Aku bisa melihat kerinduan di mata mereka, namun sayangnya, aku tak pernah benar-benar menyadarinya.
Pada suatu sore di akhir pekan, aku pulang lebih awal ke rumah setelah beberapa hari ini aku pulang hampir malam.
Seperti biasa, Ibu menyambutku dengan pelukan hangat, dan Ayah menanyakan kabarku dengan senyum lembutnya.
Mereka mengajakku duduk bersama di ruang tengah, seperti dulu saat aku masih sering bercerita panjang lebar tentang hari-hariku.
“Bagaimana kuliahmu, Nak? Sudah terasa lebih ringan, kan?” Ayah bertanya, dengan nada yang penuh perhatian.
Aku mengangguk sambil tersenyum. “Iya, Yah. Sekarang aku sudah lebih bisa atur waktu, jadi nggak terlalu capek lagi.”
Ibu ikut tersenyum mendengarkan jawabanku. Ada sorot sedih di matanya yang tidak bisa aku abaikan.
Aku bisa merasakan kerinduan di mata mereka, tetapi sayangnya, aku terlalu tenggelam dalam tugasku untuk benar-benar memahami perasaan mereka.
Setelah beberapa saat, aku kembali tenggelam dalam pekerjaanku.